Sementara Kelvin, lulusan psikologi, memilih jalan berbeda.
Ia bergabung sebagai konselor militer membantu para prajurit yang terluka secara mental setelah bertugas di medan perang.
Pekerjaan itu membuatnya sering absen dari rumah, tapi setiap kali pulang, ia selalu membawa senyum yang sama: hangat, tulus, penuh cinta.
Dua tahun pertama pernikahan mereka adalah masa-masa yang indah.
Mereka tertawa di dapur kecil, berbagi mie panas saat hujan turun, dan menulis surat cinta kecil di dinding rumah.
Ketika Maria mendapat promosi, Kelvin merayakannya dengan menari di ruang tamu sambil memutar lagu Mandarin lama.
”Cintaku padamu tidak butuh alasan,” kata Kelvin suatu malam, menatap Maria yang tertidur di pangkuannya.
”Kalau hidupku berakhir esok, aku ingin tahu bahwa aku pernah membahagiakanmu.”
Maria tersenyum dalam tidur. Ia tak tahu, kalimat itu kelak menjadi kenangan terakhir yang terus terngiang di hatinyi.
Maria berkata, ”Kalau aku tiada kelak kamu orang pertama yang ada di sisiku”.
Empat tahun berlalu.
Maria dan Kelvin dikaruniai seorang putra mungil bernama Sandy, bayi dengan mata bulat seperti ayahnya dan senyum lembut seperti ibunya.
Hidup mereka terasa sempurna. Setiap sore, Maria menunggu di balkon sambil memeluk Sandy, menantikan Kelvin pulang dengan seragam militernya yang berdebu.
Namun takdir sering kali tidak memilih waktu yang baik untuk memberi ujian.
Suatu pagi, telepon berdering.
Suara di seberang terdengar berat dan kaku.