Cahaya Adharta

Rabu 29 Oct 2025 - 09:23 WIB
Reporter : Yogi
Editor : Yogi

Anaknyi, Sandy, tumbuh menjadi anak yang lembut dan penuh kasih.

Ia sering memeluk ibunya dari belakang sambil berkata,

“Papa pasti bangga sama Mama.”

Dan setiap kali mendengar itu, air mata Maria jatuh perlahan  bukan karena sedih, tapi karena hatinyi mulai berdamai.

Suatu malam, Maria bermimpi.

Kelvin datang dengan pakaian putih, menatapnyi dari kejauhan.

”Jangan lagi menangis, Maria,” katanya pelan. “Cintaku kini menjadi angin yang menemanimu setiap langkah.”

Saat terbangun, Maria merasa dada yang selama ini berat tiba-tiba terasa ringan.

Dia menatap foto pernikahan mereka di meja, dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, dia tersenyum tanpa air mata.

Lima belas tahun telah berlalu sejak hari pernikahan itu.

Maria kini dikenal sebagai salah satu tokoh investor Tiongkok di Indonesia yang paling berpengaruh.

Dia tak pernah menikah lagi. Hatinyi telah tertambat pada satu cinta yang abadi, cinta yang tak lagi berupa kehadiran fisik, tapi menjadi cahaya yang membimbing setiap langkahnyi.

Suatu pagi, Maria berdiri di depan cermin, kini dengan rambut yang sedikit beruban.

Sandy sudah dewasa, dan hari itu ia hendak berangkat lagi ke Beijing untuk kuliah.

Sebelum pergi, Sandy mencium tangan ibunya dan berkata,

“Mama, di Beijing nanti aku ingin ke makam Papa. Ada pesan?”

Kategori :