Bayangkan. Betapa sulit posisi saya di pesawat ini. Untung hanya dua setengah jam. Tapi itu dua setengah jam yang menyiksa: tidak bisa lihat pohon lari di luar sana.
Saya pun menyalahkan Qatar: mengapa bermusuhan dengan negara tetangganya. Qatar sempat tegang dengan Uni Emirat Arab dan Arab Saudi. Padahal pesawat yang saya naiki ini milik UEA.
Dari Abu Dhabi ke Jeddah seharusnya hanya dua jam. Potong lurus. Lewat atasnya Qatar. Gara-gara hubungan tidak baik itu pesawat harus memutar ke atas laut. Jalurnya lebih panjang. Lebih tersiksa: ada jendela tapi tidak bisa ditengok.
Tapi bukankah ketegangan di Qatar itu sudah reda? Terutama sejak menjelang Qatar jadi penyelenggara Piala Dunia sepak bola? Bukankah tim Saudi sudah mau berlaga di Qatar? Bukankah Arab Saudi sudah mau membatalkan rencana penggalian daratan yang memisahkan kedua negara? Bukankah proyek laut pemisah itu sudah diurungkan?
Saya juga menyalahkan angin: mengapa hari itu angin bertiup dari arah depan? Mengapa kecepatan angin sampai 97 km/jam? Head wind seperti itu bikin jalannya pesawat terhambat. Menambah siksaan jendela.
Saya pernah terbang dari San Francisco ke Hong Kong. Sepanjang perjalanan head wind sangat kencang: sampai 200 km/jam. Pesawat sampai termehek-mehek. Bahan bakar tidak cukup untuk sampai Hong Kong. Harus mendarat darurat di Taipei. Isi ulang. Penumpang menunggu di dalam pesawat. Jadwal kedatangan di Hong Kong pun telat lebih dua jam.
Tapi tidak ada persoalan jendela saat itu.
Kenapa sih di perjalanan Abu Dhabi–Jeddah ini angin tidak dari arah belakang? Tail wind bisa mempercepat perjalanan pesawat. Sehingga saya tidak harus lama-lama tersiksa oleh jendela itu.