Misalnya membangun rumah di posisi tusuk sate. Efisien tapi sulit laku –kecuali rumah pertama yang mampu saya beli dulu: tusuk sate di Tenggilis Mejoyo. Tidak sial. Bahkan bisa membuat saya rukun 50 tahun dengan wanita yang di foto itu: 20 Agustus nanti
Apakah duduk menghadap ke belakang dikeluhkan oleh penumpang?
"Tidak ada,'' jawab pramugari di situ. ''Paling ketika awal datang saja ada yang seperti kaget, kok menghadap ke belakang,'' tambahnyi.
Saya termasuk yang tidak kaget: sudah diberi tahu sejak memilih kursi waktu check in. Sama-sama menghadap ke belakang pilih yang mana. Sama-sama terpisah dengan wanita itu tapi yang mana.
Saya pilih yang dipisahkan meja. Bisa tetap saling lihat –setidaknya saling lirik. Untuk ngobrol memang agak sulit. Berjarak. Sedikit mengeraskan suara akan mengganggu penumpang lain. Lihat sekali lagi foto itu. Sulit kan? Untuk saling berbisik?
Memang, dari segi rasa, menghadap ke belakang tidak ada bedanya. Sama saja. Tidak seperti naik bus: bisa mabuk. Terutama karena saat melihat ke luar jendela pohon-pohon seperti berlarian berlawanan.
Di pesawat saya tidak bisa melihat pohon yang lari ke belakang. Tidak ada juga tiang listrik. Apalagi posisi duduk saya di blok tengah.
Untuk bisa melihat apakah di luar pesawat ada pohon yang lari saya harus menengok ke arah jendela. Saya sungkan. Ada wanita cantik, Arab, putih, tujuh ''i'', di jendela itu. Kalau saya sering-sering lihat jendela bisa dikira naksir. Apalagi posisi duduknyi menghadap arah depan. Setiap saya menatap jendela otomatis menatap matanyi. Mengagumi dan menaksir memang beda tipis.