Seperti Minggu malam lalu. Teman saya itu membawa sendiri dua botol Motai dari rumahnya.
Kami 10 orang makan malam. Mejanya besar. Bundar. Di tiap depan kursi sudah ditata rapi: piring besar, piring kecil, bangkok, sumpit hitam, sumpit gading, sendok, beberapa saus bebek panggang, gelas besar, gelas sedang, teko kecil dari kaca dan gelas sangat kecil.
Bagian tengah mejanya berputar. Di situlah makanan ditaruh –18 jenis masakan.
Sumpit warna gading dan hitam beda fungsi. Yang gading untuk mengambil makanan dari atas meja dipindah ke piring sendiri. Sumpit hitam untuk kita makan.
Aturan dua jenis sumpit itu berlaku sejak ada wabah SARS di Tiongkok. Lalu kian membudaya setelah ada Civid-19.
Setiap ikut makan besar seperti itu saya menaruh hormat pada mereka: tidak ada menu daging babi di atas meja. Padahal saya sudah sampaikan: silakan sediakan daging babi, asal saya diberi tahu yang mana yang daging babi.
Mereka tetap tidak mau. Masih banyak daging lain yang bisa disajikan: sapi, domba, kelinci, ayam, bebek, angsa. Tapi untuk minuman keras mereka tidak punya pilihan lain: harus minum. Harus banyak. Harus bertambah-tambah.
Gelas paling kecil tadi –seukuran jempol bayi– adalah gelas untuk minum 白酒. Minuman dari botol Motai dituang dulu ke gelas kaca berbentuk teko. Isinya kira-kira 150 cc. Dari situ baru dituangkan ke gelas kecil. Siap bersulang.