Tidak bisa juga dibilang untung. Dapat gerbong nomor satu sama dengan dapat gerbong nomor 16. Sama-sama harus berjalan jauh menuju gerbong paling ujung.
Inilah hebatnya kereta yang digerakkan dengan listrik. Rangkaian gerbong sepanjang apa pun tidak mempengaruhi kekuatan tariknya.
Bayangkan kalau kereta Jakarta-Surabaya ditambah satu rangkaian gerbong. Panjangnya menjadi dua kali lipatnya. Nafas lokomotifnya bisa tersengal-sengal. Lokomotifnya masih pakai mesin berbahan bakar minyak solar.
Bukan hanya soal nafas. Kalau kereta ditambah begitu banyak gerbong akan bikin kacau lalu-lintas. Bisa jadi ekor gerbong itu sudah menghalangi perlintasan jalan raya. Banyak stasiun kereta kita hanya bisa cukup untuk parkir rangkaian pendek. Tidak jauh dari stasiun sudah ada jalan raya yang melintasi rel. Ini tidak terjadi di Tiongkok. Semua rel kereta cepat elevated.
Di setiap musim libur caranya selalu menambah satu rangkaian seperti itu. Kapasitas langsung naik 100 persen. Tidak perlu menambah jadwal --karena jadwalnya sendiri sudah padat.
Misalnya kereta cepat Beijing-Tianjin. Jaraknya mirip Jakarta-Bandung: 30 menit. Pada jam sibuk tiap lima menit ada kereta cepat yang berangkat. Baru pada jam longgar dijarangkan. Itu pun menjadi tiap delapan menit.
Tiba di Huhehaote saya tolah-toleh. Saya sudah tidak kenal lagi kota ini. Bukan hanya berubah tapi sudah berganti. Sudah sama sekali bukan Huhehaote yang pernah saya kenal. Serbabaru. Serbamodern. Hutan gedung tinggi. Jalan lebar-lebar.
Tentu saya bukan turis. Karena itu tidak pergi ke padang pasirnya yang bergunung. Tidak ingin naik kuda di sana. Saya pilih lebih banyak bertemu orang.
Juga berkunjung ke rumah penduduk biasa. Kelas rakyat kampung biasa. Rumahnya di lantai 32 apartemen rakyat: dua kamar tidur, satu dapur, satu kamar mandi, ruang keluarga (ruang makan dan ruang duduk sofa panjang). Ngobrol dengan mereka soal kehidupan sehari-hari.