Cahaya Adharta
----
Maria menerima tawaran itu.
Dia kembali bekerja dengan tekad baru.
Dalam waktu singkat, dia berhasil menjembatani banyak investasi antara Tiongkok dan Indonesia. Media menulis tentangnyi sebagai “Wanita Baja dari Beijing”: cerdas, tegas, dan berjiwa pemimpin.
Namun di balik sorot kamera dan senyum profesional, Maria tetap menyimpan kesedihan yang dalam.
Setiap malam, setelah semua orang tidur, ia menatap langit Jakarta dan berbisik, ”Kelvin, kau lihat? Aku sudah belajar tersenyum lagi.”
Anaknyi, Sandy, tumbuh menjadi anak yang lembut dan penuh kasih.
Ia sering memeluk ibunya dari belakang sambil berkata,
“Papa pasti bangga sama Mama.”
Dan setiap kali mendengar itu, air mata Maria jatuh perlahan bukan karena sedih, tapi karena hatinyi mulai berdamai.
Suatu malam, Maria bermimpi.
Kelvin datang dengan pakaian putih, menatapnyi dari kejauhan.
”Jangan lagi menangis, Maria,” katanya pelan. “Cintaku kini menjadi angin yang menemanimu setiap langkah.”
Saat terbangun, Maria merasa dada yang selama ini berat tiba-tiba terasa ringan.
Dia menatap foto pernikahan mereka di meja, dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, dia tersenyum tanpa air mata.
Lima belas tahun telah berlalu sejak hari pernikahan itu.