Hidup Mati

----
Ini urusan hidup atau mati. Kalau hidup bagaimana caranya. Kalau mati, tinggal tunggu besok atau lusa. Anda sudah tahu, saya akan menulis apa: bisnis udang. Yang kondisinya lagi kritis. Stadium empat.
Amerika Serikat menolak udang dari Indonesia. Satu juta tenaga kerja terancam kehilangan pekerjaan. Petambak udang menghadapi sakaratul maut.
Hampir 70 persen udang kita diekspor ke Amerika Serikat. Nilai devisa yang dihasilkan USD2,2 miliar. Untuk ekspor non-migas udang hanya kalah dari sawit. Udang adalah primadona Indonesia. Dan sang primadona kini lagi kena serangan jantung.
Amerika tidak salah. Tapi terlalu cepat ambil keputusan. Pemerintah kita tidak salah. Tapi dinilai lambat bergerak.
Peristiwa yang menyebabkannya sendiri Anda sudah tahu: di bulan Juli lalu. Saat itu Amerika menemukan kandungan radio aktif (Cs-137) di salah satu kontainer udang dari Indonesia. Eksporternya: PT BMS --Bahari Makmur Sejati.
PT BMS tidak punya tambak udang. Ia pedagang udang. Pedagang besar. Ia memiliki pabrik processing udang. Memiliki cold storage. Besar sekali. Di empat lokasi: Surabaya, Banyuwangi, Medan, dan di Cikande, Serang.
Yang di Cikande inilah yang jadi sumber masalah. BMS sendiri heran kenapa gudangnya bisa terkontaminasi Cs-137. Menjawabnya mudah: Cs-137 tidak ada di alam. Itu radioaktif buatan manusia: produk sampingan proses nuklir berbahan bakar uranium.
Pemakai Cs-137 biasanya pabrik baja. Yakni untuk mengukur ketebalan baja. Radiasi Cs-137 bisa menembus benda pun sepadat baja.
Di pertanian, Cs-137 dipakai untuk mencari di mana ada sumber air. Di rumah sakit, barang itu dipakai untuk mendeteksi kanker saat dilakukan MRI.
Maka kecurigaan pertama langsung ke pabrik baja yang ada di sebelah PT BMS di Cikande. Ada pabrik peleburan baja di komplek industri Cikande: PT Peter Metal Technology (PMT). Yang dilebur adalah besi tua dan rongsokan. Besi tuanya banyak diimpor dari Filipina.
Pemerintah menugaskan Bapeten untuk melakukan penyelidikan. Bapeten punya otoritas di bidang nuklir. Temuan Bapeten: rerobong PT PMT mengeluarkan Cs-137 dalam kadar di atas yang diperbolehkan: 0,3. Harusnya lebih kecil dari 0,1.
Radioaktif itu lantas menempel di kontainer pengangkut udang milik PT BMS. Terbawa sampai ke Amerika. Cs-137 tidak mudah hilang. Dalam 35 tahun hanya hilang separonya. 35 tahun berikutnya berkurang separonya dari separo yang masih ada. Perlu lebih 100 tahun untuk bisa hilang sendiri.
Di Amerika udang dari Cikande dikirim ke puluhan supermarket milik Walmart. Maka pemerintah Amerika mewajibkan Walmart memusnahkan udang dari Indonesia itu. Juga meminta agar kontainer yang sudah tiba di Amerika untuk dikembalikan ke Indonesia. Ratusan kontainer. Yang masih di perjalanan harus putar balik di tengah laut --kembali ke Tanjung Priok.
Amerika juga langsung keluarkan jurusan Sapujagat. Tidak hanya udang PT BMS yang dilarang masuk Amerika, juga semua udang dari Indonesia. Siapa pun eksporternya.
Bahkan Amerika bikin sanksi tambahan. Untuk bisa masuk Amerika tidak hanya harus lolos FDA, tapi juga harus bersertifikat. Masih belum jelas lembaga apa yang mengeluarkan sertifikat nir-radioaktif.
Pesaing udang Indonesia tentu memanfaatkan situasi ini. "Pesaing utama kita adalah Ekuador, Vietnam, India, dan Thailand," ujar Prof Dr Andi Tamsil, ketua umum asosiasi udang Indonesia.
Dr Andi adalah ahli pembiakan ikan dari IPB Bogor --setelah S-1 dan S-2 di Unhas Makassar. Kini ia dosen perikanan di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.
"Pemerintah lambat sekali. Harusnya langsung melancarkan diplomasi udang dengan Amerika," ujar Prof Andi Tamsil. "Sampai hari ini saya minta menghadap Pak menteri pun belum bisa," katanya.
"Yang terkontaminasi kan hanya yang dari BMS. Itu pun bukan akibat kelalaian BMS. Udang BMS dari tiga pabrik lainnya pun masih aman," ujar Dr Andi.
Andi masih menyisakan dua harapan: agar cepat dilakukan diplomasi dengan Tiongkok. "Ekspor udang kita ke Tiongkok amat sangat kecil. Hanya dua persen," ujarnya. "Apalagi kalau benar PT PMT itu PMA asal Tiongkok," tambahnya.
PT PMT telah menimbulkan bencana nasional. Primadona Indonesia sedang kejang-kejang. Ratusan triliun rupiah menguap. Satu juta orang akan kehilangan pekerjaan.
Kita kehilangan segala-segalanya: devisa, lapangan kerja, pasar Amerika, dan kehilangan bisnis andalan negara.
Saya bisa merasakan alangkah pusingnya Henry Hidayat, pemilik BMS. Padahal ia lagi semangat-semangatnya ingin mengalahkan bisnis udang milik ayahnya: PT Bumi Menara Internusa (BMI).
Kini usaha udang sang anak terpukul berat. Pun memukul bisnis orang tuanya. Memukul bisnis saya juga. Memukul Indonesia. (Dahlan Iskan)