Anwar Ali
----
Inilah smelter nikel pertama yang saya lewati setelah 30 menit meninggalkan bandara Morowali. Yang menonjol bukan pabriknya, tapi kekumuhannya. Kanan-kiri jalan utama poros Sulawesi di tengah smelter modern ini sungguh paradoksnya.
Di sepanjang jalan bangunan darurat mendominasi pemandangan. Tidak terkendali. Kumuh. Berdebu.
Di balik kekumuhan itulah terlihat pembangkit listrik yang besar dan modern. Tiga unit PLTU batu bara berjajar. Di pinggir pantai. Di sebelah pelabuhan khusus milik GNI.
Pabrik smelternya sendiri tidak di pinggir pantai. Lebih dekat ke bukit bahan baku. Antara pabrik dan pelabuhan dipisahkan jalan raya trans Sulawesi.
Itulah smelter terkenal milik perusahaan Tiongkok: PT Gunbuster Nickel Industry (GNI).
Meski smelter dan pelabuhan dipisahkan jalan raya tapi tidak mengganggu lalu-lintas. Antara smelter dan pelabuhan itu dibangun jalan layang lebar melintas di atas jalan trans Sulawesi.
Maka GNI seperti tidak terusik oleh kekumuhan bawah jalan layang itu.
Ribuan karyawan yang dari luar Morowali memang tidak ada pilihan: harus kos di kanan kiri jalan trans Sulawesi itu. Kebutuhan makan mereka pun dipenuhi oleh pedagang informal di situ.
Inilah kelemahan utama industri yang tidak berada di kawasan industri. Lingkungannya berantakan. Kualitas hidup lingkungannya sangat rendah. Problem ini pernah dialami oleh Batam di awal pembangunannya dulu. Juga terjadi di Kaltim ketika industri kayu lapis mulai bangkit di sana: muncul kampung-kampung kumuh di Loa Janan dan seterusnya.
Kampung kumuh di sekitar GNI ini seperti kota kecil tak berpemerintahan. Semua orang merasa berhak membangun apa saja dengan bangunan seperti seenaknya.
GNI telah jadi gula yang didatangi semut tanpa komando. GNI sendiri ternyata tetap beroperasi. Pun ketika induk GNI telah bangkrut: Jiangshu Delong Nickel Industries.
Rupanya restrukturisasi akibat kebangkrutan itu bisa dilakukan. Induknya bangkrut tapi anak-anaknya yang masih menguntungkan bisa ikut pemilik baru.
Kami terus berkendara menuju ibu kota Morowali: Bungku. Kalau tidak ke sini saya tidak tahu kalau ibu kota Morowali itu bernama Bungku. Masih satu jam lagi di depan.
Tiba di kecamatan Wosu, suami Mega menunjuk satu rumah bagus di pinggir jalan: "itu rumah Pak Anwar Hafid", katanya.