Hijrah Riba

Selasa 26 Aug 2025 - 10:39 WIB
Reporter : Yogi
Editor : Yogi

"Apakah waktu memutuskan akan hijrah istri Anda setuju? Istri diajak bicara?"

"Istri sangat setuju. Mendukung. Biar pun saya beri tahu risikonya akan hidup miskin," ujar Hendra.

"Apakah Anda tergabung dalam komunitas masyarakat tanpa riba (MTR)?"

"Tidak. Saya mandiri," katanya.

Pelan-pelan usahanya hidup lagi. Ekspornya jalan lagi. Semua dividen diserahkan ke satu lembaga yang ia bentuk: WGS –Win Global Solusitama.

Ekspor ladanya bangkit lagi. Lalu punya usaha Pomigor –pompa mini minyak goreng. Punya usaha konsultan –utamanya untuk orang-orang yang ingin bebas dari utang riba. Dan banyak lagi.

Membantu melunasi utang adalah kegiatan sosial utamanya. Uangnya diambilkan dari kas WGS. Orang yang utangnya dilunasi harus tunduk pada aturan WGS –melunasi utangnya ke WGS tanpa bunga. Orang itu dididik untuk punya usaha. Agar utangnya ke WGS bisa lunas.

Ide baru yang lagi ia bicarakan dengan travel umrah adalah ini: calon jamaah cukup membayar Rp 12 juta ke WGS. Bulan ketujuh mereka diberangkatkan ke Makkah-Madinah. WGS yang akan membayar lunas ke perusahaan umrah.

Uang itu, kata Hendra, dibelikan mesin pomigor. Tiap bulan laba satu pomigor Rp 4 juta. Dalam tujuh bulan terkumpul laba Rp 28 juta. Masih ada Sisa laba. Diputar oleh WGS untuk berbagai usaha sosial.

"Rombongan pertama umrah yang berangkat dengan skema ini di bulan Maret tahun depan," kata Hendra. Mereka adalah orang-orang Kalbar yang percaya dengan skema itu. Bulan ini mereka melunasi Rp 12 juta/orang.

Pomigor adalah mesin yang bentuknya mirip pompa bensin di SPBU. Lebih kecil. Satu mesin berisi 110 liter. Disediakan kantong plastik. Boleh juga bawa botol sendiri. Mesin pomigor sudah disetel hanya bisa melayani satu pembelian satu liter. Kalau mau beli lima liter harus bawa jeriken sendiri. Atau diberi lima kantong plastik.

Mesin pomigor juga sudah disetel harganya. Kalau operator membuat harga lebih tinggi mesinnya otomatis tidak bisa bekerja. Di Kubu Raya saja WGS sudah punya 16 pomigor. "Di seluruh Indonesia sudah ribuan," kata Hendra.

Saya menyesal tidak mampir ke pomigornya yang di Kubu Raya. Sudah keburu ke bandara. Lain kali saya akan melihatnya. Agar tahu apakah yang ia ceritakan benarkah adanya.

Sebenarnya Hendra tidak tahu siapa ayah ibunya. Sejak kecil ia diasuh kakeknya yang hidup sendiri –istrinya meninggal dunia. Umur enam tahun sang kakek meninggal. Hendra kecil jalan ke pelabuhan Pontianak. Ia naik kapal kayu. Ikut berlayar ke Sunda Kelapa, Jakarta.

Di Jakarta Hendra dipungut orang Depok. Tokoh Muhammadiyah setempat. Disekolahkan. Sampai dapat kesempatan pertukaran pelajar ke dua negara.

Baru belakangan, ketika Hendra mengajak anak-anaknya ke Taman Mini Indonesia Indah, ketemu seseorang di anjungan Kalbar. Saling kenalan. Ketika tahu Hendra lahir di Kalbar terjadilah dialog panjang. Ternyata orang itu paman Hendra sendiri.

Kategori :