Saya bertemu seorang pimpinan sembilan perusahaan. Ia bukan pemegang saham. Ia bilang pemegang sahamnya tunggal: Allah.
"Kan tidak bisa Allah jadi pemegang saham," kata saya.
"Bisa," jawabnya.
"Notarisnya pasti tidak mau bikinkan akta pendirian perusahaan. Kan melanggar hukum."
"Notarisnya mau."
"Tidak mungkin. Pasti di akta pakai nama orang. Nama Anda sendiri?"
"Betul," jawabnya.
"Lalu Anda bikin pernyataan notariel bahwa saham Anda itu sebenarnya milik Allah?"
"Betul. Begitu," jawabnya.
Nama orang itu: Hendra Firmansyah.
Hendra lahir di Pontianak. Tumbuh besar di Jakarta. Ikut pertukaran pelajar ke Jepang dan Jerman. Belajar ilmu logika di Beijing. Mulai usaha di Makassar –sampai punya perusahaan eksporter lada hitam.
Sembilan bulan terakhir Hendra kembali ke Pontianak: agar dekat dengan ayah-bundanya yang sudah tua.
Tahun 2016 Hendra "hijrah"' –meninggalkan apa pun yang dilarang agama. Termasuk yang riba. Saat itu sebenarnya Hendra aman: tidak punya utang bank. Asetnya pun sudah Rp 500 miliar. Semua tidak lagi ia urus –konsentrasi memikirkan datangnya ''Hari Perhitungan'': apakah dosanya lebih besar dari pahalanya.
Hendra pun jatuh miskin.
Anaknya sudah 10 orang. Sebagian besar masih kecil-kecil. Hendra tidak lagi punya rumah. Perusahaannya sudah ia serahkan ke Allah. Ia tidur di rumah sewa. Kadang di masjid.