Tugas ganda ASDP—mencari keuntungan di rute komersial untuk menyubsidi rute perintis—adalah misi impossible yang tidak pernah dihadapi kompetitor swasta.
Bayangkan Anda harus bersaing dalam balap mobil, tapi Anda wajib berhenti di setiap pos untuk membagikan makanan gratis, sementara pesaing lain boleh ngebut tanpa beban apapun. Itulah realitas BUMN pelayaran di Indonesia.
Bandingkan dengan Temasek di Singapura atau Khazanah di Malaysia. Sovereign wealth fund ini berinvestasi dengan agresif, mengambil risiko tinggi, melakukan akuisisi besar-besaran, dan kadang mengalami kerugian—tanpa direksi mereka langsung masuk bui. Kenapa? Karena ada pemahaman bahwa calculated risk adalah bagian dari permainan bisnis. Kerugian adalah tuition fee untuk pembelajaran, bukan automatically criminal offense.
Di Indonesia? Setiap keputusan akuisisi BUMN diperlakukan seperti potential crime scene. Setiap valuasi yang premium langsung dicurigai sebagai markup. Setiap strategi aggressive growth dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Hasilnya: para direksi BUMN bermain ultra-konservatif, menghindari segala risiko, dan perusahaan perlahan mati karena tidak berani berinovasi.
Masa Depan BUMN dalam Limbo
Kasus ASDP menciptakan precedent yang berbahaya: setiap upaya transformasi radikal BUMN akan dilihat dengan kacamata curiga. Para profesional terbaik akan berpikir dua kali sebelum menerima posisi direksi BUMN. Mengapa harus mengambil risiko reputasi dan kebebasan untuk perusahaan negara, sementara di sektor swasta mereka bisa berinovasi tanpa ancaman pidana?
Yang tersisa kemudian adalah dua tipe pemimpin BUMN: yang bermain utrasafe dan tidak pernah mengambil risiko (sehingga perusahaan stagnan), atau yang memang punya niat buruk dari awal dan pandai menyamarkan korupsi sebagai "inovasi."
Kedua tipe ini sama-sama merugikan: yang pertama membuat BUMN jadi zombie companies, yang kedua membuat BUMN jadi cash cow pribadi.
Mengeja Ulang Makna "Profesional"
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan "profesional" dalam konteks BUMN Indonesia?
Apakah seorang yang mengambil keputusan berisiko tinggi demi transformasi perusahaan, ataukah yang bermain aman mengikuti SOP kaku meski perusahaan perlahan mati?
Apakah profesionalisme diukur dari keberanian mengambil calculated risk, ataukah dari kemampuan menghindari segala bentuk risiko hukum?
Dalam budaya Jawa, ada konsep "sregep, rajin, lan eling" —giat, rajin, dan waspada.
Para direksi ASDP mungkin sudah sregep dan rajin dalam menjalankan transformasi.
Pertanyaannya: apakah mereka cukup eling untuk mempertimbangkan risiko hukum dari setiap langkah inovatif?
Epilog