Karam Darat

Senin 07 Jul 2025 - 09:51 WIB
Reporter : Yogi
Editor : Yogi

Kelak, ketika sejarah mencatat era transformasi BUMN Indonesia, kasus ASDP akan menjadi footnote yang menarik: bagaimana negara yang menuntut BUMN-nya mencari keuntungan untuk menyubsidi misi sosial, kemudian menghukum mereka yang berusaha melakukannya dengan strategi bisnis yang agresif.

Para direksi ASDP mungkin adalah korban dari sistem yang schizophrenic: terlalu menuntut BUMN untuk profitable sambil menjalankan beban sosial, tapi terlalu curiga dengan setiap langkah strategis yang diperlukan untuk mencapai target tersebut.

Mereka seperti nakhoda yang diminta berlayar cepat sambil menarik perahu bocor, tapi kemudian disalahkan ketika memilih kapal yang lebih powerful untuk misinya.

Akuisisi PT Jembatan Nusantara—dengan segala kontroversi valuasinya—sebenarnya adalah contoh thinking outside the box, dalam konteks BUMN yang terjebak regulasi kaku.

Alih-alih membeli kapal kosong yang butuh bertahun-tahun untuk operasional, mereka memilih akuisisi perusahaan yang sudah siap menghasilkan revenue hari itu juga. Dalam dunia startup, ini disebut "buying traction." Dalam konteks BUMN Indonesia, ini disebut "dugaan korupsi."

Pertanyaannya kini: sanggupkah kita menciptakan sistem yang membedakan antara korupsi sesungguhnya dengan strategic business risk-taking?

Bisakah kita memahami bahwa membayar premium untuk aset yang sudah produktif adalah hal wajar dalam dunia bisnis, bukan otomatis mark-up koruptif?

Ataukah kita akan terus menjadi negara yang takut pada bayang-bayang sendiri, di mana setiap upaya BUMN untuk bersaing secara serius berakhir di meja hijau?

Sebagaimana ungkapan Minang, "babuah babungo, indak babuah layu?" —berbuah berbunga, tidak berbuah layu.

Kasus ASDP memaksa kita bertanya: apakah upaya BUMN untuk sustainable growth sambil menjalankan misi sosial akan berbuah kemajuan, ataukah layu sebelum sempat mekar karena setiap inovasi bisnis dianggap suspicious?

Jawabannya bukan hanya menentukan masa depan ASDP, tapi juga masa depan seluruh ekosistem BUMN Indonesia di era di mana standing still sama dengan slow death.

Susahnya hidup di negeri tempat Si Kabayan membangun istana malah dituduh merampok, sementara perampok yang berdandan Sinterklaas malah bebas berkeliaran.

**

Siapa GWS? Saya yakin suatu saat akan tahu siapa ia. Atau jangan-jangan ia salah satu perusuh Disway.

Di tengah berita tenggelamnya fery swasta di Selat Bali ternyata ada juga yang karam di daratan seperti Ira.(Dahlan Iskan)

 

Kategori :