Yoseb belum pensiun ketika saya menjadi sesuatu di luar Jawa Pos. Hubungan saya dengan Yoseb pun terputus. Tapi saya tidak akan lupa: Yoseb adalah ''dokter bahasa'' angkatan pertama di Jawa Pos.
Sebelum ada ''dokter bahasa'' tulisan di Jawa Pos penuh dengan kekacauan kaidah bahasa. Pengetahuan wartawan tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar ternyata sangat parah. Maka kami rekrut ahli bahasa. Lulusan Unesa. Sekaligus lima orang.
Lima orang itu kewalahan. Kesalahan bahasa begitu merata. Direkrut lagi ahli bahasa angkatan kedua. Seminggu sekali wartawan dan redaktur wajib sekolah bahasa. Pengajarnya para copy editor.
Saya pernah ngambek ke copy editor. Tulisan saya memang menjadi benar –secara bahasa. Tapi juga menjadi hambar. "Tulisan saya menjadi seperti teks telegram," kata saya. Telegram, Anda sudah tidak tahu. Saya pun malas menjelaskan pada Anda apa itu telegram –khawatir Anda menertawakan teknologi komunikasi masa lalu.
Yoseb dan copy editor lainnya sangat berjasa membawa Jawa Pos ke level tinggi dalam berbahasa Indonesia.
Saya telepon Hajjah Nuri, istri Yoseb tadi malam. Ternyata waktu saya mulai ngurusi setrum, Yoseb terkena stroke. Tekanan darahnya tinggi. Tidak sampai fatal. Setelah pensiun Yoseb bergabung ke harian Memorandum. Ia mengasuh rubrik ''Sejuta persoalan rumah tangga''.
Kondisi badannya menurun tapi tetap masuk kantor di Memorandum. Pun di masa Covid-19.
Begitu terkena Covid, Yoseb masuk rumah sakit. Diperiksa. menyeluruh. Dari hasil pemeriksaan Covid itulah Nuri tahu kalau suaminyi ternyata gagal ginjal. Harus cuci darah. Seminggu sekali.
Setelah dua tahun cuci darah Yoseb tahu ada fasilitas baru cuci darah: CAPD. Cuci darahnya bisa dilakukan sendiri di rumah.
Ada beberapa prosedur untuk bisa CAPD. Istri dan anak Yoseb harus kursus CAPD. Selama satu bulan. Yoseb ikut kursus. Selama bisa Yoseb akan melakukannya sendiri.
Setelah mereka lulus dari kursus CAPD barulah bagian kiri perut Yoseb dilubangi. Dipasangi selang. Yakni untuk memasukkan cairan ''pencuci'' darah: 2000ml. Dua liter.
Cairan pencuci itu dimasukkan selang. Seperti infus. Lalu cairan warna kuning keluar lewat selang di perut ini. Jumlah cairan yang keluar harus di atas 2000ml.
Yoseb melakukan sendiri cuci darahnya: empat kali sehari. Masing-masing sekitar 30 menit.
Pekan lalu ketika lagi bersama istri dan anak sulung duduk-dusuk di ruang tamu, Yoseb mengeluh. Sesak. Lemas. Terkulai.
Itu jam 08.00 tanggal 23 Januari lalu. Nuri dan si sulung menggotongnya ke rumah sakit. Anak keduanya sudah menikah dan tinggal di kota lain.
Rumah sakit terdekat tidak punya fasilitas cuci darah. Padahal jadwal cuci darah jam 09.00 sudah lewat beberapa jam. Malam itu Yoseb dipindah ke RSUD Sidoarjo. Masuk ICU. Racun dalam darahnya sudah meracuni otak.