Oleh: Dahlan Iskan
Dua babi dan satu Yoseb membuat media yang saya pimpin bermasalah. Anda sudah tahu nama media di zaman itu: Jawa Pos.
Satu Yoseb itu meninggal dunia dua hari lalu. Ia generasi pertama copy editor Jawa Pos. Tulisan ini mewakili saya yang tidak bisa melayat mantan anak buah –lantaran lagi di Jakarta.
Seperti apa sepotong kisah Yoseb bisa Anda ikuti dari tulisan keluarga Disway, Joko Intarto (JTO) berikut ini:
Ingatan saya mendadak terbang ke masa lalu: 33 tahun yang lalu. Hari itu, kantor pusat Jawa Pos di Jl Karah Agung dikepung massa dari berbagai organisasi Islam.
Padahal hari masih pagi. Sekitar pukul 09:00. Tapi ribuan demonstran sudah berkumpul di sepanjang jalan. Mereka tidak bisa masuk ke halaman karena pagar dikunci dan dijaga ratusan polisi.
Meski jarak mereka sekitar 100 meter dari gedung utama, suara para demonstran yang bergema melalui "toa" itu berhasil membangunkan saya yang baru terlelap tiga jam. Malam itu saya memang tidur di kantor. Hampir setiap malam saya tidak pulang ke kos-kosan, walau hanya 400 meter dari kantor.
Tempat tidur di kantor lebih nyaman –di arena lesehan. Ber-AC. Bersih dan sarung bantalnya diganti setiap hari. Kamar mandinya juga wangi. Jauhlah dibandingkan kos-kosan untuk karyawan baru yang gajinya hanya Rp 200 ribu per bulan.
"Kantor didemo. JTO bisa panggil Yoseb?" tanya Satpam.
"Yoseb? Siapa? Saya belum kenal," jawab saya sambil mengucek-ucek mata yang masih belekan.
"Yoseb copy editor," kata Satpam.
Saya menggelengkan kepala.
Saya benar-benar belum kenal nama Yoseb. Lagi pula saya wartawan yang baru bekerja dua minggu. Saya baru kenal redaktur rubrik. Belum kenal copy editor.
"Yuli Setyo Budi. Yoseb. Kodenya JOS!" jelas Satpam.
"Urusan apa pendemo itu dengan Yoseb?" tanya saya.