Saya mau rendang! Bukan hanya bumbunya!
Istri mau kikil!
Apa boleh buat, saya hanya makan nasi dan bumbu rendang. Istri makan sayur nangka. Rupanya istri tadi minta tambahan bumbu rendang. Bumbunya ada, rendangnya tidak.
Untung ada lauk terbaik: lapar. Malamnya saya tidak ikut ke karaoke. Saya harus menulis. Lalu pulas. Tidak sedikit pun ada goyangan malam itu.
Sebelum tiba saatnya bersahur saya sudah terbangun. Masih pukul 01.15. Istri masih pulas. Saya coba keluar kamar. Laut di sisi kiri gelap. Laut di sisi kanan juga gulita. Angin kencang. Tidak ada kehidupan.
Saya balik ke kamar. Membaca. Apa saja.
Saya ingin tahu Inul akan Lebaran di mana?
Apakah APBN baik-baik saja?
Danantara sudah sampai di mana?
Sudah berapa ratus perusahaan yang tiba-tiba kehilangan perkebunan sawit mereka?
Setelah dua jam membaca bel berbunyi. Makanan untuk sahur tiba. Saya bangunkan istri. Inilah sahur pertama di atas kapal.
Usai sahur istri mengambil Alquran. Dia harus mengejar target: sebelum hari ke 29 bacaannyi sudah harus sampai juz 29. Sehari satu juz.
Saya turun satu lantai. Ke masjid. Ternyata antrean berwudunya panjang. Di sektor laki-laki maupun perempuan.
Pun di dalam masjid. Sudah penuh. Saya minta penumpang berkopiah haji untuk jadi imam. Ia menolak keras. Justru minta ke saya untuk jadi imam. Saya menolak –khawatir masih belum sembuh dari murtad. Saling tolak. Harus ada yang mengalah.
Saya mengalah. Salat subuh ini harus dua atau tiga sesi. Maka saya baca surah terpendek: Kulhu. Sebelum itu: Al Asr.
Benar saja. Seluruh jamaah harus bergegas keluar. Lebih banyak lagi yang ingin masuk. "Seperti di gereja saja," celetuk saya mencoba bercanda, "ada kebaktian kedua".