Kurs mata uang Ethiopia, Birr (ETB), jatuh. Terguling-guling. Terutama di pasar gelap. Bisa empat kali dari kurs resmi pemerintah. Terjadilah krisis moneter. Sejak tiga tahun lalu. Untungnya tidak merembet ke krisis politik dan kerusuhan sosial.
Ethiopia pun minta bantuan IMF: utang USD 10 miliar.
IMF setuju. Tapi ada syarat. Birr harus didevaluasi.
Maka Agustus tahun lalu dilakukanlah devaluasi birr. Drastis: 100 persen. Satu dolar yang sebelumnya 50 birr menjadi 120 birr.
Pengusaha menjerit. Harga-harga naik. Serentak. Ketika inflasi tinggi, sudah banyak bangunan tidak bisa dilanjutkan. Ketika dilakukan devaluasi lebih-lebih lagi.
Tapi tidak ada demo. Demokrasi di Ethiopia bukanlah demokrasi.
Keadilan juga baru bisa didapat kalau ada uang dan koneksi. Di Indonesia masih sedikit lebih beruntung: keadilan bisa didapat dengan jalan ketiga: diviralkan di medsos –no viral no justice.
Di Ethiopia medsos tidak bisa memviralkan ketidakadilan. Medsos hanya untuk gosip artis.
Tumbuh tinggi, inflasi tinggi, harga-harga naik, bangunan mangkrak, kota gemerlapan, semua itu saya anggap sebagai fenomena growing pain: penyakit bawaan bagi negara yang sedang bertumbuh.
Kita juga mengalami itu. Di masa lalu. Kita berkali-kali melakukan devaluasi di awal pertumbuhan kita. Sakit akibat devaluasi biasanya berlangsung satu tahun. Orang harus hidup. Bergerak maju. Sakit akibat kenaikan harga pun mulai pulih –setelah terbiasa dengan harga baru.
Ethiopia mengalami masa-masa awal pertumbuhan tinggi. Mirip kita di tahun 1980-an. Kita sudah melewati masa seperti itu. Bukan berarti sudah selesai.
Sekarang ini kita berada di tahap menghadapi penyakit berat lainnya: ''jebakan kelas menengah''. Kalau kita bisa melewatinya kita akan jadi negara maju. Kalau tidak, kita akan begini-begini saja –bahkan kembali menjadi negara miskin.
Ethiopia memang lagi sakit, tapi beda dengan sakitnya di masa lalu. Dulu sakitnya bayi. Kini sakitnya orang dewasa.
Saya pun kembali memutar lagu Ethiopia-nya Iwan Fals. Kini ia memang harus ke Ethiopia, melihat gemerlapnya Addis Ababa.(Dahlan Iskan)