Penyakit Tumbuh

Selasa 04 Mar 2025 - 08:29 WIB
Reporter : Yogi
Editor : Yogi

BEGITU banyak bangunan mangkrak di berbagai kota di Ethiopia. Mencolok. Sangat menggoda pikiran: apa penyebabnya.

Tentu tidak hanya karena perang. Kalau yang mangkrak hanya di kota terbesar kedua, Makelle, itu bisa jadi karena perang. Tapi tidak ada perang di Addis Ababa, ibu kota Ethiopia. Juga tidak ada perang di Arba Minch --kota di bagian selatan negara itu. Bangunan mangkrak di mana-mana.

Setelah dari Tigray, negara bagian paling utara, saya memang terbang ke Arba Minch. Di selatan. Juga satu jam penerbangan dari Addis Ababa. Di sini pun banyak struktur bangunan mangkrak.

Tentu jauh lebih banyak bangunan yang tidak mangkrak. Gedung-gedung baru bermunculan. Belum setinggi bangunan-bangunan di Jakarta, tapi kian tinggi. Addis Ababa cantik gemerlap. Bangunan dan taman baru mendominasi kota.

Pun di kota Makelle. Saya menginap di hotel baru bintang empat. Punya kolam indoor yang besar. Sebelah-sebelahnya juga gedung baru. Sebelahnya lagi mangkrak. Ada tiga yang mangkrak. Begitulah. Di Makelle perbandingan yang baru dan yang mangkrak 20-1. Cukup terlihat. Mengganggu pikiran.

Di Addis Ababa perbandingan itu lebih kecil: 40-1. Tapi juga mengganggu mata. Apalagi ada yang dibungkus plastik. Bungkusnya itu pun sudah dibungkus debu.

Inflasi!

Itulah jawaban yang paling utama.

Pertumbuhan ekonomi Ethiopia memang fantastis: di atas 7 persen. Tiap tahun. Rata-rata. Dalam 10 tahun terakhir. Ekonomi begitu booming. Semangat membangun menyala-nyala. Investor utamanya dari Tiongkok, Turki, UEA, Arab Saudi.

Geliat ekonomi yang begitu gegap gempita punya ikutan ''anak haram''-nya sendiri: inflasi.

Inflasi di Ethiopia gila-gilaan.

Pemerintah rupanya gagal memerangi inflasi –meski berhasil memacu pertumbuhan. Tumbuh tinggi dengan inflasi rendah sulit terjadi di Ethiopia. Salah satunya akibat perang. Tiga tahun lalu pun masih ada perang. Di Tigray, provinsi paling utara.

Penyebab lain: pasok kebutuhan pembangunan tidak cukup. Lebih banyak yang membangun daripada produksi semen, baja, dan seterusnya. Mereka hanya tertolong oleh –Anda sudah tahu– murahnya harga batu dan pasir.

Harga pasir hanya Rp 40.000/kubik. Batu Rp 80.000. Praktis hanya ongkos angkut dan memecahnya. Semen Rp 120.000/sak 50 kg. Pabrik semen dalam negeri hanya bisa mencukupi 60 persen.

Akibatnya: harga-harga pun melonjak. Melompat. Tidak henti-hentinya. Kontraktor angkat tangan. Nilai kontrak tidak cocok lagi dengan kenaikan harga-harga.

Kategori :

Terkait

Selasa 04 Mar 2025 - 08:29 WIB

Penyakit Tumbuh

Sabtu 22 Feb 2025 - 10:07 WIB

Solek Cleopatra

Senin 03 Feb 2025 - 10:40 WIB

Jantung Jonan

Kamis 09 Jan 2025 - 07:41 WIB

Foto Pimpinan