Sawit Atas
----
"Sering ke Morowali?" tanya saya.
"Setahun dua-tiga kali".
"Punya proyek apa?"
"Survei dan pemetaan tanah".
Namanya: Arif Setiawan. Orang Kebumen. Alumnus geodesi UGM. Pun S-2-nya. Di Morowali ia punya karyawan 20 orang –enam di antaranya insinyur geodesi.
Bandara Morowali ini masih terlihat baru. Kecil tapi tertata dan bersih. Termasuk toiletnya. Material bangunannya bukan kelas tiga.
Pesawat yang mendarat di bandara ini hanya dari dua jurusan: Makassar (enam kali sehari) dan Palu (sekali sehari). Semuanya Wings Air.
Jarak tempuh Makassar-Morowali 1,5 jam. Pesawatnya melintasi Teluk Bone, lalu, sesaat sebelum mendarat melintasi danau Towuti.
Bandara ini milik Pemkab Morowali. Bukan bandara yang sedang jadi topik berita di medsos. Yang diributkan itu adalah bandara khusus milik perusahaan nikel. Lokasinya di dekat industrial estate –sekitar dua jam perjalanan mobil dari bandara yang saya darati itu.
Dulu Freeport juga punya bandara khusus di Timika. Lama-lama pesawat komersial boleh ikut mendarat di sana. Pun di Bontang/Sangatta, bandaranya khusus milik perusahaan minyak. Kini juga boleh untuk pesawat komersial.
Bandara nikel di Morowali kelihatannya akan tetap berstatus bandara khusus. Kan sudah punya bandara komersial --meskipun landasannya kalah panjang.
"Kita tunggu mobil di sini," ujar Arif yang berhenti di teras bandara. Arif menjabat dirut di perusahaan survei yang dimiliki empat alumnus geodesi UGM itu.
Sesaat kemudian kami pun sudah masuk mobil Arif: Wuling. Saya akan ikut saja ke kantornya di kota Bungku –ibu kota kabupaten Morowali.
Keluar dari bandara mobil melewati jalan kampung. Jalan baru yang khusus menuju bandara belum selesai dikerjakan. Kampung ini mengesankan: rumah-rumahnya baik –untuk ukuran kampung. Umumnya seperti baru dipugar. Dalam hati saya berpikir: ini pasti dampak positif hilirisasi nikel di Morowali.
Baru 10 menit meninggalkan bandara saya dapat WA dari teman lama di Palu: Kamil Badrun. Saya memang berkabar kepadanya bahwa hari itu ke Morowali.