Empati Wanita
----
"Sakit karena melahirkan kan hanya saat itu saja. Begitu bayi keluar selesai. Lega. Ini tidak seperti itu," jawab istri. Dia benar sekali dengan jawabannyi.
Tapi fisioterapi itu mutlak. "Kalau tidak mau fisioterapi bisa fatal. Tidak akan bisa berjalan normal," kata saya. "Akan kesakitan seumur hidup," tambah saya.
"Bah-bah-no," jawabnyi.
Bah-bah-no adalah bahasa Surabaya untuk bodo amat, biarin.
Lalu saya jelaskan secara detail apa yang terjadi dengan lututnyi. Seperti apa mekanisme kerja di dalam lutut itu. Risiko-risikonya. Saya tidak memaksanyi. Saya bisa memahami sakitnya setelah operasi lutut. Seperti semua jenis rasa sakit kumpul jadi satu. Mungkin lebih baik sakit hati daripada sakit fisioterapi.
Jelaslah bahwa istri saya tetap menolak fisioterapi. Bahkan di puncak penolakannyi dia bilang begini:
"Saya pilih mati!" katanyi.
Maka saya tidak mungkin lagi merayunya dengan ''gaya merayu wanita''. Saat dia bilang ''pilih mati saja'' saya mengatakan padanyi: "Masalahnya Anda ini tidak bisa mati. Lutut itu jauh dari napas. Jadi, berharap mati juga tidak ada gunanya. Kalau tidak mau fisioterapi bukan mati tapi akan terus kesakitan seumur hidup".
Dia kelihatan diam. Setelah lama diam saya cium keningnya, sambil berbisik: "nanti malam fisioterapi ya".
Dia diam. Merengut.
Menjelang jadwal fisioterapi saya pergi. Menjemput pengantin baru dari Syria yang akan berbulan madu di Indonesia. Ia anaknya sahabat baru saya di sana.
Di jalan, saya monitor lewat Nicky yang menunggui istri saya. Alhamdulillah. Istri saya mau fisioterapi.
Kesakitan?
Sampai menangis.
Tapi fisioterapi kedua ini membanggakan. Dia bisa melangkah lima langkah. Istirahat. Lalu lima langkah lagi.