Takdir Al Khoziny
----
Dalam sejarah panjangnya itu sekarang inilah era kemajuan tertinggi Al Khoziny. Total santrinya sekitar 3.000 orang --dari SD sampai S-2.
Kemajuan itu jauh melampaui ketersediaan lahan yang diwariskan. Tidak sampai setengah hektare. Di sekitarnya pun tumbuh rumah-rumah kampung yang padat. Harga tanah di situ sudah terlalu mahal untuk lokasi pendidikan. Buduran sudah menjadi daerah industri di antara Surabaya dan Sidoarjo.
Lahan pesantren itu memang bertambah, tapi secara sangat pelan. Belum tentu rumah di dekat pesantren mau dibeli.
Akhirnya dibangunlah gedung-gedung baru yang berimpitan. Apalagi semua santri Al Khoziny harus mukim --berasrama. Bukan hanya ruang belajar yang diperlukan. Juga ruang asrama untuk hampir 3.000 santrinya.
Masjidnya pun tidak seperti umumnya masjid di pondok pesantren. Tidak ada lahan untuk masjid. Fungsi masjid itu berada di lantai bawah dari bangunan empat lantai. Daya tampungnya hanya enam baris --sekitar 30 orang per baris. Sangat tidak mencukupi. Akhirnya jamaah meluber sampai halaman.
Halaman itulah yang belakangan ingin diisi bangunan baru empat lantai. Agar masing-masing lantai menyambung dengan bangunan lama. Bangunan baru itu jauh lebih besar dari yang "enam baris" tadi. Salatnya bisa tambah 20 baris lagi.
Lantai satu, dua, tiganya sudah selesai dibangun setahun lalu. Lantai terbawahnya untuk tambahan "enam baris" tadi. Lantai dua dan tiga masih kosong. Tunggu lantai empatnya dicor semen --sekaligus jadi atapnya.
Bulan lalu dana untuk mengecor atap itu tersedia. Dilakukanlah pengecoran. Selesai. Begesting belum dibuka. Tunggu cor semennya kering.
Salat lima waktu tetap diadakan di lantai bawah. Sudah tidak enam baris lagi. Sudah hampir 30 baris. Selalu penuh. Belum cukup. Terutama kalau untuk salat maghrib, isya, dan subuh. Di tiga waktu salat itu semua santri wajib salat bersama.
Sedang untuk salat duhur dan asar, tidak wajib berjamaah. Maka ketika sore itu dilakukan salat asar, lantai bawah itu tidak penuh. Maka ketika bangunan baru itu roboh, yang enam baris di depan semuanya selamat. Termasuk imam salat, seorang ponakan kiai. Bangunan lama itu tidak terpengaruh sama sekali.
Sampai di mana gerakan salat asar itu ketika bangunan runtuh?
"Sudah rakaat keempat. Sedang posisi sujud. Jenazah yang ditemukan ada yang dalam posisi sujud," ujar Kiai Abdul Muid.
Salah seorang santri, katanya, merasakan seperti ada gempa kecil sebelum bangunan itu roboh. Mungkin badan pemantau gempa bisa mengecek apakah ada gempa kecil pada jam-jam sebelum itu.
Saya bisa membayangkan alangkah sulitnya tim evakuasi melaksanakan tugasnya hari itu. Bangunan yang roboh itu dijepit bangunan-bangunan lain. Di baratnya ada "bangunan enam baris" yang tidak roboh. Bagian selatannya bangunan-bangunan empat lantai. Timur dan utaranya rumah-rumah tinggal enam bersaudara kiai di situ.
Mungkin perlu ada pemikiran baru: menatap ulang tata bangunan di pondok ini. Membangun kembali memang penting tapi menata ulang tidak kalah penting.