Siapa Mikir

----
Sudah seminggu saya amati: banyak tuduhan proyek kereta cepat di-markup. Tuduhan itu luar biasa nyaringnya. Tapi dasar yang mereka pakai menuduh hanya satu: dinilai lebih mahal dari proyek serupa di Tiongkok sendiri.
Setiap kali membaca pernyataan ada markup saya berharap yang membuat pernyataan menyertakan sedikit rincian: di bagian mana markup dilakukan. Semua hanya mendasarkan pada "jauh lebih mahal dari nilai proyek serupa di Tiongkok".
Jadi, adalah markup?
Tuduhan lain adalah: janjinya tidak pakai APBN. Ternyata pakai APBN. Yang berjanji itu Presiden Jokowi.
Tapi "janji" adalah "janji". Bukan program. "Janji" ada di mulut. "Program" jadi dokumen. Saya sering membedakan antara "janji" dan "program". Janji lebih personal. Menjadi utang. Harus dibayar. Harus ditepati.
Program punya kemungkinan meleset. Program ditetapkan berdasar asumsi parameter. Padahal asumsi bisa berubah --misalnya asumsi harga tanah.
Program yang meleset akibat asumsi yang berubah bisa karena dua hal: kurang pandai dalam membaca asumsi atau ada kepentingan tertentu sehingga asumsi yang tidak logis dilogis-logiskan.
Jadi, soal tidak pakai dana APBN itu janji atau program?
Lalu ada pernyataan Presiden Jokowi bahwa proyek kereta cepat itu "B to B". Bukan "G to G". Kenyataannya: "B" di situ adalah lembaga bisnis BUMN --milik negara.
Sejak semula kita semua harusnya sudah tahu bahwa tidak mungkin B di situ bukan BUMN. Jadi ketika ada yang mengucapkan "B to B" harusnya langsung tidak percaya bahwa G tidak akan terlibat. Apalagi bila belakangan B to B itu disertai dokumen jaminan negara. Maka "B to B" di situ hanya pelaksanaannya. Resiko akhirnya tetap di negara.
Bahwa Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengindikasikan tidak mau membayar timbunan bunga kereta cepat dari APBN, sifatnya baru indikasi. Purbaya belum pernah memberi penegasan yang eksplisit soal itu.
Yang disampaikan Purbaya, saya nilai, masih sebatas pada prinsip "Danantara dong yang mikir. Masak saya". Artinya, Danantara tidak boleh cepat-cepat lempar handuk-busuk ke "atas".
Danantara harus cari cara sekuat otaknya untuk menyelesaikan bunga pinjaman itu. Sudah mau menerima jabatannya harus mau pula "mikir".
Yang duduk di Danantara adalah para jago utak-atik angka. Kalau Presiden Prabowo berani gebrak podium Sidang Umum PBB, dirut Danantara mestinya berani gebrak meja perundingan. Sampai akhirnya ketemu rumusan penyelesaian tanpa melibatkan APBN.