Komdigi Siapkan Tameng Digital untuk Anak: Aturan Ketat, Pengawasan dan Sanksi Tegas Menanti

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menggelar Focus Group Discussion (FGD) lanjutan bersama berbagai pemangku kepentingan, termasuk KPAI, HIMPSI, Save the Children, UNICEF, ID-COP, LPAI, serta akademisi dan praktisi.--
JAKARTA – Anak-anak Indonesia semakin rentan terhadap ancaman di dunia digital, mulai dari kecanduan teknologi hingga paparan konten berbahaya.
Menyadari urgensi ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menggelar Focus Group Discussion (FGD) lanjutan bersama berbagai pemangku kepentingan, termasuk KPAI, HIMPSI, Save the Children, UNICEF, ID-COP, LPAI, serta akademisi dan praktisi.
Diskusi ini mendalami aturan usia dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Tata Kelola Pelindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (RPP TKPAPSE), dengan fokus pada perlindungan anak dari risiko digital yang semakin kompleks.
Staf Ahli Menteri bidang Komunikasi dan Media Massa, Molly Prabawaty, menegaskan bahwa regulasi yang disusun harus lebih dari sekadar aturan teknis, tetapi juga mencegah dampak negatif digital terhadap anak.
“Kita tidak bisa hanya mengatur akses tanpa memastikan literasi digital yang memadai. Regulasi ini harus melindungi anak dari kecanduan teknologi dan konten negatif, sambil tetap mendorong pemanfaatan ruang digital yang sehat dan bertanggung jawab,” ujarnya.
BACA JUGA:Kemenag Perkuat Regulasi Untuk Akuntabilitas Lembaga Zakat
BACA JUGA:Dorong Perluasan Pasar Produk Kreatif di World Expo 2025 Osaka
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, menambahkan bahwa pengawasan terhadap regulasi ini harus dilakukan secara kolaboratif.
“Langkah Komdigi ini sangat kami dukung, tapi keberhasilannya bergantung pada pengawasan yang ketat. Kepolisian, KPAI, dan berbagai pihak harus berperan aktif dalam menangani risiko yang muncul di ruang digital bagi anak-anak,” jelasnya.
Dalam diskusi, Pakar Pendidikan Itje Chodijah mengingatkan bahwa kebijakan perlindungan anak tidak bisa sekadar meniru regulasi negara lain. “Kita bisa belajar dari UK, Australia, dan Jerman, tapi tetap harus mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya Indonesia. Banyaknya kasus eksploitasi seksual pada remaja awal dan anak penyandang disabilitas di Indonesia menunjukkan bahwa kita perlu intervensi negara yang lebih kuat,” ungkapnya.
Ketua Umum PP Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Andik Matulessy, menggarisbawahi bahwa tidak semua fitur digital cocok untuk anak-anak.
BACA JUGA:Kolaborasi Majukan Pariwisata Indonesia
BACA JUGA:Menperin: Pemerintah Berikan Perhatian Luar Biasa Kepada Industri Otomotif
“Harus ada pembatasan ketat terhadap konten yang berisiko, seperti self-harm, kekerasan, gangguan makan, cyberbullying, hingga radikalisme dan terorisme. Sebaliknya, kita harus mendorong fitur-fitur ramah anak yang mendukung pembelajaran, memperkuat nasionalisme, dan mendorong aktivitas positif seperti olahraga dan eksplorasi budaya,” katanya.