Kalah perang berarti kematian.
Risiko tertinggi dalam kehidupan adalah ''mati''. Maka segala upaya harus dilakukan agar jangan sampai mati.
Termasuk harus menemukan sistem manajemen yang unggul.
Di perusahaan, risiko tertinggi adalah bangkrut. Yang mati hanya perusahaannya. Bukan orangnya.
Maka di militer mulai proses manajemen perencanaannya sangat detail.
Di militer, perencanaan tidak sekadar didasarkan pada asumsi. Harus berdasar data di lapangan. Data lapangan diperoleh dari kerja intelijen.
Perencanaan SDM-nya dirinci sampai detail dari batalyon, kompi, regu, sampai grup.
Pun logistiknya. Sampai ke penerjunan pasukan pendahulu. Pengerahan pasukan Zeni. Pun analisis risiko dan escape-nya.
Salah satu keunggulan manajemen ala militer adalah ketaatan pada komandan: ketaatan tegak lurus.
Ketika militer diterjunkan ke medan-laga pikirannya hanya satu: memenangkan perang.
Di medan perang tidak ada kemewahan. Tidur seadanya. Makan apa yang ada. Bisa-bisa tidak tidur dan tidak makan.
Selama tiga hari ke depan para menteri digodok di kompleks Akademi Militer dengan gaya militer.
Sepulang ke Jakarta mereka tentu akan terobsesi untuk bisa menerapkan manajemen gaya militer yang mereka dapat.
Minggu pertama mungkin mereka berkeinginan menurunkan ilmu Magelang ke anak buah di Jakarta. Ke eselon satu. Mungkin eselon satu akan setuju dan siap mengikuti ajaran itu.
Persoalan muncul ketika ajaran itu sampai ke eselon dua. Apalagi tiga.
Di birokrasi yang benar-benar berkuasa adalah eselon tiga. Mantan Wapres Jusuf Kalla pernah membuka itu blak-blakan. Yang sebenar-benar menjalankan roda pemerintahan adalah eselon tiga.