Tiga hari ke depan opini publik masih akan di seputar lembah Tidar, Magelang.
Saya perhatikan daya tarik acara pembekalan menteri baru tersebut cukup tinggi. Bisa mengalihkan isu negatif tentang latar belakang para menteri itu sendiri.
Setidaknya untuk sementara.
Daya tarik itu mulai dari seragam mereka. Ada baju doreng ala militer. Ada baju putih lengan panjang. Topi model prajurit –hanya saja warnanya polos: biru tua. Tempat yang mestinya ditempelkan identitas di bagian depan topi itu dibiarkan kosong.
Saya tidak tahu apakah masih akan ada anggota kabinet yang berani pakai sepatu kets.
Mereka berangkat dari Jakarta bersamaan: pakai pesawat militer Hercules.
Bagi sipil yang belum pernah naik Hercules itu anggap saja pengalaman baru. Bagi yang sudah biasa naik pesawat di kelas bisnis akan terasa tidak nyamannya: duduk berjejer berhadap-hadapan, memanjang dari depan sampai belakang.
Ini seperti seruan: mulailah terbiasa hidup tidak nyaman. Toh hanya 1,5 jam. Dari Bandara TNI-AU Halim Perdanakusuma ke Bandara TNI-AU Adi Sucipto.
Dari Adi Sucipto ke Magelang mereka juga harus naik bus. Itu lambang untuk hidup biasa-biasa saja.
Sampai di Magelang mereka tidak tinggal di hotel, tapi di barak tentara berbentuk tenda. Mudah-mudahan ber-AC.
Jangan-jangan mulai ada yang menyesal: jadi menteri ternyata tidak boleh enak. Apalagi bagi menteri baru yang sudah terbiasa hidup dari lobi hotel ke salon.
Tapi ini kan hanya tiga hari. Toh masih di masa bulan madu. Kebanggaan diangkat sebagai menteri masih bisa mengalahkan sulitnya cara hidup baru itu.
Latar belakang Presiden Prabowo yang militer tentu mewarnai kabinetnya. Seorang jenderal pasti punya keyakinan: bahwa ''manajemen ala militer'' adalah unggul. Keyakinan itu lantas menjadi kebanggaan.
Banyak jenderal yang kemudian punya pendapat: kalau saja manajemen ala militer diterapkan di luar militer akan membawa kesuksesan.
Keunggulan manajemen ala militer lahir sebagai konsekuensi atas risiko yang tinggi: menembak atau ditembak.