Begitu banyak orang Madura di kawasan itu sampai ada humor: suatu saat kalau Madura merdeka ibu kotanya di Malang.
BACA JUGA:Liem Din
Tahun pertama jurusan bahasa itu mahasiswanya 14 orang. Tapi tahun kedua sudah lebih 20 orang. Salah satunya diajak hadir di forum pertemuan mahasiswa Indonesia di Fuqing Minggu lalu.
Saya minta dia ke depan. Sudah bisa menjawab beberapa pertanyaan sederhana dalam bahasa Indonesia.
Alwi juga anak desa di Probolinggo. Desa Besuk.
Rendah hatinya sama dengan Novi. Sopan santunnya sama. Senyumnya sama. Postur tubuhnya sama. Alwi seperti satu molding dengan Novi.
Alwi adik kelas Novi di Nurul Jadid. Selisih tiga tahun. Tesis S-2 nya juga ditulis dalam bahasa Mandarin: 60 halaman.
Anda sudah tahu kesulitan tertinggi Alwi dalam mengajar bahasa Indonesia: bagaimana mahasiswa Tiongkok bisa mengucapkan huruf 'r'.
Akhirnya Alwi punya cara: mahasiswa ia minta membuka mulut dalam posisi seperti mengucapkan huruf 'a'. Lalu memindahkan ujung lidah ke langit-langit depan. Dan seterusnya.
Mahasiswi di pertemuan itu saya minta mencoba mengucapkan 'terima kasih'. Bagus. 'R'-nyi sudah bisa keluar 50 persen.
Di universitas itu Alwi diberi tempat tinggal. Pun seandainya punya isteri kelak. Ia dan isteri akan disediakan kamar yang lebih besar untuk satu keluarga.
BACA JUGA:Warung Kopi
Tiap Jumat Alwi harus ke kota Fuzhou: cari masjid. Di Fuqing tidak ada masjid. Di Fuzhou pun –ibu kota provinsi Fujian– masjidnya hanya. Itu masjid kuno yang diperbarui.
Di prasastinya tertulis masjid itu didirikan tahun 1350 –berarti di masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Jauh sebelum kesultanan Demak didirikan Raden Patah.
Untuk salat Jumat itu Alwi harus naik kereta cepat ke Fuzhou: 20 menit. Lalu sambung dengan kereta bawah tanah: berhenti di stasiun kesembilan.
Alwi mendapat kemudahan dari universitasnya: tiap Jumat boleh mengajar hanya dua jam. Pagi hari. Setelah itu ia ke stasiun kereta cepat: mengejar salat Jumat di kota Fuzhou.