Orang sukses sering tidak sengaja berbuat agar sukses. Dina Nur Anggraini Ningrum bahkan tidak tahu apa itu H-indeks.
Tahu-tahu kampusnyi heboh: kampus Unnes Semarang. Nama Ningrum dan Unnes tercantum dalam Sinta (Science and Technology Index) –sistem ranking di direktorat perguruan tinggi Kemendikbud.
Ningrum dari Unnes sebagai peraih H-indeks tertinggi di Indonesia.
Sejak itu Ningrum tahu ada H-indeks. Yakni indeks untuk mengukur produktivitas dan kualitas penelitian.
Perumusnya seorang fisikawan bernama Jorge E. Hirsch dari University of California San Diego.
Hirsch merumuskan indeks pengukur –juga digunakan untuk mengukur seorang ilmuwan yang meraih gelar Nobel– itu tahun 2005.
Begitu nama Ningrum muncul moncer di Sinta, reaksi pertama sangat negatif: Ningrum mencapainya dengan cara-cara curang. Ningrum dituduh sebagai pengejar H-indeks dengan cara yang tidak terhormat.
Ningrum sampai harus membuat klarifikasi ke institusi kampusnyi. Barulah orang tahu Ningrum melakukan penelitian dengan cara yang belum biasa dilakukan di sini: bergabung dengan grup penelitian besar di dunia.
Di kalangan akademi, nama Ningrum memang bukan siapa-siapa. Bukan profesor. Baru asisten profesor. Kampusnyi pun bukan UI atau ITB.
Ningrum hanya menyebut dirinyi sebagai pencinta kesehatan dan angka-angka. Ayahnyi, seorang tenaga kesehatan lulusan SMEA di Yogyakarta, ingin Ningrum masuk fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada. Dia takut darah. Dia tidak ingin mengecewakan sang ayah.
Begitu lulus SMAN 1 Yogyakarta, Ningrum ikut tes masuk fakultas kedokteran. Niatnyi hanya ingin menjadi sarjana kedokteran –tidak ingin jadi dokter.
Yang diterima justru pilihan kedua yang idenya datang dari ibunda. Ningrum pun masuk fakuktas kesehatan masyarakat di Universitas Diponegoro, Semarang. UGM tidak punya program S-1 kesehatan masyarakat –seperti ikut model Eropa.
Minatnya selama S-1 adalah di epidemiologi. Lalu masuk S-2, masih di Undip, di bidang sistem informasi manajemen kesehatan.
Sebenarnya Ningrum ingin S-2 nyi di luar negeri. Tapi setiap kali tes tidak bisa lulus. Kemampuan bahasa Inggrisnya kurang. TOEFL-nyi tidak bisa mencapai 600. Hanya 498. Padahal sudah banyak kursus. Akhirnya S-2 tetap di Undip.
Rezeki ke luar negeri itu datang di tahun 2012. Dikti mengirim 100 dosen untuk kursus pendek di Taiwan. Tiga bulan. Pilihan Taiwan karena tidak mensyaratkan Bahasa Inggris yang tinggi. Sistem kesehatan masyarakatnya pun sangat sukses.