Opung menjadi pengajar favorit di Sesko, Seskogab, maupun di Lemhanas.
Opung asyik sekali kalau mengajar. Ia menikmatinya. Murid-muridnya sudah banyak yang jadi jenderal bintang empat. Justru gurunya yang tertinggal.
Gagal melayat Opung saya langsung melayat yang lain: ayah Robert Njoo. Ia juga meninggal. Umur 89 tahun. Hanya selisih beberapa jam dari Opung.
‘’Saya minus dua hari ini,’’ kata Njoo dengan logat Bataknya. ‘’Dua bapak saya meninggal hampir bersamaan,’’ tambahnya.
Padahal Opung sudah berpesan agar Njoo-lah yang mengurus jenazahnya bila meninggal dunia. Njoo pun sudah menyanggupinya.
Permintaan itu disampaikan Opung ketika ia jatuh di kamarnya hampir dua tahun lalu.
Saat itu Opung sudah lama sakit-sakitan. Tengah malam itu ia ingin ke kamar mandi. Jatuh.
Njoo ditilpon. Njoo membawa Opung ke rumah sakit. Kepala bagian belakang Opung harus dijahit tujuh jahitan.
Sejak itu kondisi Opung kian lemah. Makannya terlalu sedikit. Banyak makanan yang dilarang: yang bergula, bergaram, berlemak, dan banyak lagi.
Berat badannya tinggal 48 kg.
Saya beberapa kali ingin menjenguk Opung. Tidak berhasil. Opung tidak mau dijenguk siapa pun. Hanya Njoo yang bisa bertemu Opung. Atau anak-anak dan menantunya.
Opung sendirian di rumah besar di daerah elite Simprug Jakarta. Istrinya punya rumah sendiri. Pun anak-anaknya.
Saya pernah bermalam di vila Opung yang di tebing Danau Toba. Waktu itu Opung membuat panggung besar di Balige. Untuk saya. Penyanyi top nasional asal Tapanuli, Judika, jadi bintang panggung yang luar biasa.
Petangnya kami berperahu menyeberang Danau Toba. Kami bermalam di vila. Kami juga berenang-ria di tepian danau itu, di depan vilanya.
Opung termasuk tokoh yang ingin agar saya jadi calon presiden. Saya diminta ikut konvensi calon presiden Partai Demokrat. Opung termasuk orang penting di partai itu. Di dewan pembina.