Demokrasi adalah aplikasi dari doktrin kebebasan. Lalu untuk mengaplikasikan demokrasi dilaksanakanlah Pemilu: lima tahun sekali –atau empat, atau enam tahun sekali.
Setiap kali Pemilu, calon pemimpin selalu takut pada para pemilih. Mereka akan cenderung memenuhi emosi pemilih –biar pun emosi itu tidak rasional.
Akibatnya banyak program di negara demokrasi yang tidak rasional.
Di Tiongkok, konstitusinya, ideologinya, telah membebaskan –bukan hanya menjanjikan kebebasan– dari semua hal yang tidak cocok dengan ilmu pengetahuan.
Maka Andi berpendapat bahwa ilmu pengetahuan juga harus tegas masuk konstitusi kita. Agar science punya masa depan di Indonesia.
Selama ini, katanya, yang sudah masuk konstitusi adalah iman dan takwa.
Tentu terserah anggota DPR/MPR yang baru: hasil Pemilu 2024. Juga terserah presiden terpilih: apakah akan menempatkan ilmu pengetahuan sejajar dengan iman dan takwa, demi masa depan Indonesia.
Saya menyesal menuliskan semua itu hari ini. Apakah bijaksana menulis seperti itu di saat perut lapar karena puasa.
Saya sebenarnya ingin lebih banyak menulis soal Ryu Hasan. Tapi perut lapar bisa jadi mulas karenanya. Kisi-kisinya saja: ia mengatakan manusia itu dengan timun sebenarnya sama saja.(Dahlan Iskan)