Ajak Jadikan Agama Faktor Pemersatu

Kamis 07 Aug 2025 - 14:17 WIB
Reporter : Claudeo
Editor : Yogi

KORANOKUTIMURPOS.ID - Menteri Agama Nasaruddin Umar mengajak seluruh elemen bangsa untuk menempatkan agama sebagai kekuatan pemersatu, bukan pemecah belah. Menag mengibaratkan agama seperti energi nuklir—dapat menjadi kekuatan besar bagi kemanusiaan jika dimanfaatkan dengan bijak, namun bisa menjadi alat penghancur bila disalahgunakan.

“Karenanya, saya mengajak agar agama harus menjadi faktor sentripetal (pemersatu), bukan sentrifugal (pemecah),” ujar Menag dalam Silaturahmi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang digelar di Serpong, Rabu (6/8/2025).

Silatnas FKUB ini dihadiri 350 peserta yang berasal dari FKUB se-Indonesia dan Kakanwil Kemenag Provinsi. Hadir pula perwakilan dari sejumlah kementerian dan lembaga, antara lain Irjen Pol. Ahmad Nur Wahid mewakili Menko PMK, Bahtiar Baharuddin mewakili Menteri Dalam Negeri, dan Cecep Agus Supriyanta dari Kemenko Polhukam.

Tampak pula tokoh-tokoh dari berbagai majelis agama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), serta para pengurus FKUB dari tingkat pusat hingga daerah.

BACA JUGA:Latih Penghulu Agar Tidak Sekadar Jadi Pengadministrasi Akad Nikah

BACA JUGA:Perkuat Industri Galangan Kapal, Cetak Talenta Andal

Selanjutnya, Menag mengingatkan, kerukunan antarumat beragama tidak cukup diatur secara formal atau legalistik, melainkan harus tumbuh dari kesadaran batiniah yang mendalam—sebuah state of mind.

“Sebanyak apa pun undang-undang kita buat, kalau hati tidak berkomunikasi, tidak bicara, maka tidak banyak artinya. Kerukunan bukanlah sesuatu yang bersifat formal logika, tapi soal batiniah,” ujar Menag.

Menag menyampaikan bahwa Kementerian Agama kini tengah mengembangkan pendekatan baru dalam membangun kerukunan, termasuk melalui perbaikan kurikulum pendidikan agama. Ia mengingatkan bahwa pendidikan agama tidak boleh menjadi alat untuk menanamkan fanatisme dan eksklusivisme.

“Kalau ada yang mengajarkan agama dengan cara mendoktrinkan bahwa keyakinan dirinya adalah satu-satunya kebenaran, apalagi sampai menimbulkan konflik, maka itu bukanlah mengajarkan agama, melainkan fanatisme,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia mengajak agar rumah ibadah dijadikan sebagai “rumah kemanusiaan”, tempat tumbuhnya kesadaran nilai-nilai universal.

“Rumah ibadah harus menjadi tempat semua orang belajar menjadi manusia. Karena kemanusiaan itu satu, tidak ada duanya. Kita perlu menanamkan konsep dasar ini kepada anak-anak kita sejak dini,” tuturnya.

Menag juga mendorong perubahan paradigma dalam relasi keagamaan. Jika dulu perbedaan dianggap ancaman, kini harus dilihat sebagai kekayaan.

BACA JUGA:Sinergi BRI dan Indogrosir Hadirkan Inovasi Transaksi, Dukung UMKM dan Ritel Modern

BACA JUGA:Kampung Haji, Masuk Tahap Penyusunan Desain

Kategori :