Tak hanya pada perayaan Islam, kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya juga saling didukung.
Pada saat Nyepi, warga Muslim membantu menjaga ketertiban lingkungan. Saat Natal, pemuda lintas agama ikut membantu menjaga gereja.
“Kami tumbuh dalam semangat gotong royong. Kami berbeda keyakinan, tapi kami tetap satu keluarga besar di Karang Manik,” tambah Widiono.
Kegiatan doa bersama malam itu ditutup dengan makan bersama. Nasi takir yang dibawa masing-masing warga menjadi simbol berbagi. Tak ada yang mewah, tapi semua terasa hangat.
Di tengah dunia yang sering kali dilanda intoleransi, Desa Karang Manik justru menunjukkan bahwa kebersamaan bisa tumbuh dari tradisi lokal yang sederhana.
BACA JUGA:Apresiasi Program, Lapas Martapura Beri Penghargaan Untuk Diskannak OKU Timur
BACA JUGA:BBPJN dan PUTR OKU Timur Survei Lapangan Pembangunan Fly Over Sungai Tuha OKU Timur
Tradisi seperti ini menjadi potret penting bahwa kerukunan tidak hanya dibangun lewat peraturan, tapi melalui praktik sehari-hari.
Desa Karang Manik memberi pelajaran bahwa keberagaman, jika dikelola dengan kearifan lokal, justru bisa menjadi kekuatan desa.