Tunduk kepada siapakah perusahaan-perusahaan BUMN sekarang ini? Ke Kementerian BUMN atau ke Danantara?
"Tunduk ke dua-duanya," ujar salah satu dari mereka.
Teorinya begitu. Pemegang saham perusahaan BUMN memang dua lembaga: Danantara dan Kementerian BUMN.
Sebenarnya kementerian BUMN hanya memegang satu lembar saham saja di masing-masing perusahaan BUMN. Kalau misalnya perusahaan itu memiliki satu juta lembar saham, maka nilai satu lembar itu hanya 0,0 sekian persen.
Apalagi kalau jumlah sahamnya miliaran lembar. Jumlah saham Bank Mandiri misalnya, 128 miliar lembar. Bisa Anda hitung, satu lembar dari 128 miliar lembar itu berapa persennya. Hanya segitulah saham kementerian BUMN. Selebihnya adalah milik Danantara. Selebihnya lagi milik publik lewat pasar modal.
Meski begitu ”satu lembar” saham tersebut memiliki kekuatan lebih besar dari yang memegang 128 miliar lembar saham.
Satu lembar saham itu --begitu kuatnya-- disebut saham Merah Putih. Dalam akta perusahaan sudah disebutkan: saham Merah Putih memiliki hak veto di perusahaan BUMN. Artinya, untuk keputusan-keputusan penting pemilik satu lembar saham itu harus setuju. Tidak setuju, batal.
Apakah dengan demikian perusahaan BUMN semakin tidak fleksible? Kalau dulu hanya punya 'atasan' satu, sekarang punya 'atasan' dua?
Bukankah pembentukan Danantara dimaksudkan agar BUMN kita lebih lincah --tidak serba kalah manuver dari swasta? Bukankah perubahan UU BUMN terbaru juga punya maksud seperti itu?
Maka kini terserah menteri BUMN. Apakah ia akan menggunakan kekuasaan satu lembar saham itu untuk menyetujui atau menolak keputusan apa pun. Atau, ia akan membatasi diri hanya untuk keputusan-keputusan yang terkait dengan kedaulatan negara saja. Misalnya: ketika perusahaan BUMN akan melepas saham melebihi 50 persen.
Selebihnya, biarlah berada sepenuhnya menjadi wewenang Danantara. Kalau perusahaan BUMN masih tunduk pada dua-duanya, bukankah itu justru menambah birokrasi. Bukan lagi kian sederhana. Kian ruwet.
Sebenarnya BUMN tidak hanya tunduk pada dua lembaga itu. Masih juga harus tunduk pada kementerian teknis. Misalnya PLN, Pertamina atau perusahaan pertambangan: harus tunduk kepada Kementerian ESDM. Direksinya harus sering rapat di sana.
Selain itu masih ada yang satu ini: DPR. Direksi BUMN sering dipanggil DPR. Harus siap dicaci maki di situ --pun untuk yang sangat teknis.
Setelah ada Danantara, apakah DPR masih akan sering memanggil direksi BUMN? Ataukah hanya akan memanggil Danantara?
Bukankah perusahaan BUMN yang lama itu kini hanya berstatus sebagai anak perusahaan Danantara?