Dua anak itu sama-sama punya nama belakang Badali –bahasa Arab, artinya ‘’penggantiku’’.
Sahabat Disway di sana menggambarkan bahwa dua-duanya sangat alim. Sangat layak menggantikan posisi Tuan Guru.
Dan memang dua anak inilah yang kini memimpin pengajian Sekumpul di masjid keluarga, Ar-Raudah, Martapura. Dua-duanya hafal Quran.
Saya ke masjid itu tahun lalu: lagi ditutup. Untuk dipugar. Kini menjadi masjid yang sangat besar dan megah. Yang di sekitarnya –sayangnya– penuh dengan pedagang segala macam barang. Masjid itu sampai tidak terlihat dari jalan raya.
Pihak keluarga Tuan Guru tidak punya wewenang mengatur lingkungan di luar masjid. Bahkan itu dianggap sebagai berkah dari Tuan Guru –sudah meninggal pun memberi rezeki kepada begitu banyak orang.
Masjid itu selalu penuh dengan peziarah. Apalagi di saat haul seperti besok malam. Sejak dua hari sebelumnya pun sudah ada yang menggelar sajadah di dekat masjid. Kian dekat ke saat haul, kian jauh sajadah digelar.
Masih beruntung kalau bisa menggelar sajadah di mal Martapura Plaza. Lokasi mal itu sekitar 2 km dari masjid. Selebihnya hanya bisa menggelar sajadah di jalan-jalan, di halaman-halaman rumah penduduk, di emper-emper toko dan seterusnya.
Sekali setahun satu-satunya mal di Martapura itu jadi masjid. Penuh jamaah yang salat dan tahlil.
Tahun lalu Sandiaga Uno datang ke acara haul ke-18. Menteri Pariwisata itu harus jalan kaki 5 km. Untung ia seorang pelari maraton.
Sekumpul adalah nama kampung di tengah kota Martapura. Saat Tuan Guru Sekumpul masih hidup, pengajiannya selalu dihadiri puluhan ribu orang. Seminggu sekali. Ceramah itu disampaikan dalam bahasa Banjar campur Indonesia.
Beliau sendiri memang keturunan ulama besar. Pun kakeknya-kakek. Delapan turunan ke atas adalah seorang ulama besar di Kalsel: di Makkah dikenal sebagai Al Banjari.
Tuan Guru Sekumpul sendiri diakui sebagai ulama terbesar di Kalsel. Dipercaya sebagai Wali. Muhibin juga percaya Tuan Guru sering datangi Nabi Muhammad.
Masuklah resto masakan lokal di Kalsel: selalu ada foto besar beliau. Bahkan di beberapa toko atau resto milik orang Tionghoa. Pun sampai di Kaltim dan Kalteng
Beda dengan Sang Ayah dua anak Tuan Guru tidak pernah sekolah ke Makkah. Sekolah formal di Kalsel pun tidak. “Beliau berdua Sekolah Duduk,” ujar sahabat Disway di sana.
Sekolah Duduk adalah istilah setempat untuk semacam ‘’sekolah di rumah’’. Guru yang datangkan ke rumah. Guru apa pun. Lalu ikut ujian persamaan. Sampai tingkat Aliyah –setara SMA.
Seperti juga sang Ayah, doa anak ini tidak pernah tampil. Tidak mau tampil. Pun tidak mau berinvestasi dengan politik. Keduanya meneruskan tradisi keulamaan yang diwariskan turun-temurun.