Kian tahun perusahaan pak JK terus berkembang. Pun perusahaan milik Aksa Mahmud.
Alwi juga punya banyak perusahaan. Tapi perusahaan korannya mati. Orde Baru sudah mulai stabil. Berita koran yang 'panas-panas' sudah kurang laku.
Alwi mencoba menghidupkan korannya dengan nama baru: Harian Fajar. Mati lagi. Tidak hanya mati satu kali tapi tidak mati mati.
Akhirnya Alwi menemui saya di Surabaya. Ia minta agar Fajar bergabung ke grup Jawa Pos yang saya pimpin.
Saya tidak mau. Saya pilih akan membantu manajemennya saja. Agar Fajar tetap jadi koran independen --tanpa harus Jawa Pos punya saham di dalamnya.
Saya bertekad akan didik wartawan Fajar dengan cara magang di Jawa Pos. Demikian juga bagian pemasaran dan bagian iklannya. Mereka pun ke Surabaya.
Setelah satu bulan penuh magang di Jawa Pos mereka pulang ke Makassar. Tanpa perlu modal dari Jawa Pos. Lalu mereka dipinjami kertas sebagai modal kerja. Juga tinta dan plate untuk percetakan.
Dengan pinjaman itu saya yakin mereka bisa hidup lagi. Saya pun menunggu kapan Fajar terbit kembali. Sampai satu bulan kemudian Fajar belum terbit juga.
Tak lama kemudian saya dengar selentingan Alwi datang ke Kompas. Mau gabung ke grup Kompas. Saya tanya kepadanya kebenaran selentingan itu. Alwi membenarkannya.
"Kenapa harus bergabung ke Jawa Pos atau Kompas? Kenapa tidak mau mandiri?" tanya saya.
"Kami melihat masa depan koran di Indonesia hanya dua itu. Lainnya akan mati semua," jawabnya.
Begitu Alwi menegaskan itu saya pun menjawab: "Ya sudah. Masuk Jawa Pos saja".
Alwi senang. Sejak saat itu kami, dua pecinta jurnalisme, jadi dua serangkai.
Saya pun ke Makassar. Tinggal satu minggu di sana. Saya bidanilah terbitnya kembali Fajar. Tanpa modal dari Jawa Pos. Setoran modal Jawa Pos adalah tenaga dan pikiran saya.
Selama satu minggu itu saya kerja siang malam bersama para wartawan dan karyawan Fajar. Sore sampai malam saya bekerja bersama wartawan dan redaktur.
Setelah tengah malam saya bekerja dengan orang-orang percetakan.