“Museumnya menarik. Gedungnya 5 lantai ke bawah,” katanya.
Baru kali ini ke Shanghai masuk museum. Saya ingin membandingkan. Saya pernah ke museum Natural History yang di New York. Di sebelah Central Park itu.
Yang di Shanghai ini juga menarik. Lengkap.
Ini hari Sabtu. Begitu banyak pengunjung. Antreannya panjang juga. Sampai diputar di labirin juga. Gila. Masuk museum seperti masuk konser.
Mayoritas pengunjung adalah suami-istri yang menggandeng anak kecil. Atau hanya ibu dan anak kecilnyi.
“Di Shanghai, hari Sabtu adalah hari anak,” ujar Hody. “Orang tua pasti mengajak anak jalan-jalan di hari Sabtu,” tambahnya.
Mendengar kata-kata Hody itu sebilah belati seperti menusuk di ulu hati.
Saya tidak pernah melakukan itu di masa lalu. Saya tidak pernah punya hari Sabtu. Pun hari Minggu. Lebaran pun koran tetap saya minta terbit. Begitu bangga, kala itu, disebut sebagai pelopor banyak hal di dunia media.
Pengunjung museum ini tahu: mereka orang ke berapa yang memasuki museum. Ada display digital di dindingnya.
Saya orang yang ke 2.976 hari itu. Pada jam 9 pagi. Angka digital itu berjalan terus. Begitu mencapai 5.900 pintu ditutup. Tidak ada lagi izin masuk.
BACA JUGA:Makan 400 T
Di mana-mana museum biasanya lengang. Di Shanghai sampai dibatasi.
Kami masuk lantai pertama: ke alam raya ketika belum ada manusia. Memutar turun ke lantai bawah: mulai ada binatang. Berbagai saurus dipajang dengan ukuran sebenarnya. Sebagian dibuat bergerak.
Lebih ke bawah mulailah masuk ke tahap evolusi. Sampai terjadinya manusia. Dimulai sejak 10.000 juta tahun lalu. Ditampilkan juga film evolusi: manusia bukan ciptaan Tuhan. Manusia adalah hasil evolusi dari kera.
Dipamerkanlah fosil-fosil manusia purba. Dari berbagai belahan dunia. Di satu dinding terlihat fosil manusia Jawa. Dua buah. Dari Sangrian, Sragen (tidak ditulis Sangiran) dan dari Trinil, Ngawi.
Pukul 13.30 barulah kami keluar museum.