Dosen GPT
Catatan dahlan Iskan--
"Diakah?"
"Bukan".
"Dari kacamatanyi sih seperti dia".
"Bukan. Dia sudah agak dewasa. Yang ini masih seperti mahasiswi".
"Tapi body language itu sangat mirip dia. Juga kunciran rambutnyi".
"Benar. Tapi celana bawahannyi itu kan batik. Masak dia pakai celana batik. Atasannyi juga sangat simple. Lebih simple dari yang biasa terlihat di televisi atau di TikTok".
Memang wajahnyi juga wajah Tionghoa, tapi kan banyak wajah Tionghoa yang mirip seperti dia. Bahkan, melihat sosok di kursi ruang tunggu itu, saya mulai berpikir: sudah ada wanita muda Tionghoa yang memilih dandanan mengikuti gaya dia.
Saya pun pilih duduk agak jauh. Cari colokan listrik. Baterai HP tinggal 20 persen. Saya belum menulis untuk Disway hari ini.
Di penerbangan dari Surabaya ke Jakarta tadi saya sengaja tidak menulis. Pilih asyik baca buku. Toh masih akan terbang lagi ke Banda Aceh. Hampir tiga jam. Nanti banyak waktu menulis di udara. Dan lagi penumpang di sebelah saya punya cerita yang harus saya dengar. Ia orang Aceh. Mau balik ke Aceh. Ia bekerja di kapal pengeboran minyak. Saat libur ini anak sulungnya, 11 tahun, ingin ikut program Persebaya. Sekalian nonton pertandingan Persebaya vs Borneo.
Saya dengarkan cerita itu. Menulis naskahnya bisa di atas penerbangan Jakarta-Aceh.
Maka di ruang tunggu transit itu saya konsentrasi ke baterai. Lupa kepada si kacamata yang awalnya menarik perhatian itu.
Saat boarding pun tiba. Saya pilih boarding belakangan. Agar lebih banyak strum yang masuk ke baterai. Ternyata si kacamata juga pilih boarding belakangan. Sampai antrean habis pun dia belum berdiri.
Saya maju duluan. Saat itulah seorang dokter gigi yang saya kenal menyeret tangan saya: "Ini ibu Wamen, juga satu pesawat dengan kita," katanya.
Menyesal. Ternyata dia benar-benar dia! Stella Christie --wakil menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi itu. Saya pun menyalami. Saya mencoba untuk merendah. Dia lebih merendah lagi.