Mayasari Tempe
Foto: dok Dahlan Iskan - Dahlan Iskan--
Si pemilik Mercy waswas mobilnya terluka. "Ini Mercy. Mahal," ujar pemiliknya.
"Harga traktor saya ini bisa untuk beli lima Mercy," sahut si petani.
Mayasari lahir di Bogor. Ayahnyi Sunda. Polisi. Ibunyi Sangihe, utara Manado, dekat Mindanao, Filipina.
Sang ayah pernah jadi kapolres Bogor. Pernah juga jadi atase kedutaan Indonesia di banyak negara. Maya kecil diajak bapaknyi ikut tugas di beberapa negara Eropa.
Maya ke Amerika untuk kuliah: di Purdue University, tidak jauh dari Notre Dame. Dia ambil computer science. Begitu lulus Maya dapat pekerjaan di pabrik komponen mobil. Di Indiana.
Di pabrik itulah Maya bertemu calon suaminyi. Jatuh cinta. Si bule-lah, kata Maya, yang mengincar dirinyi.
"Lalu saya tes. Ternyata lulus. Ya sudah. Kawin," ujar Maya lantas tertawa ngakak. Si bule hanya senyum-senyum. Ia lebih pendiam daripada Maya.
Tes pertama: Maya masak cakar ayam. Apakah ia bisa memakannya. Di Amerika cakar ayam untuk makanan anjing.
Tes kedua: cakar ayam itu dimasak pedas sekali. Orang Amerika tidak suka pedas.
"Ternyata dua-duanya lolos. Berarti cocok," seloroh Maya si jago masak.
Setelah kawin mereka sama-sama berhenti dari perusahaan mobil. Padahal posisi Maya sudah sangat mapan. Sudah sering ditugaskan ke luar negeri pakai private jet.
Mereka banting stir: buka restoran Indonesia di kampung halaman suami. Kampung itu jauh di pedalaman. Di antara kota Indianapolis dan Cincinnati.
Boleh dikata Maya adalah perintis perubahan selera makan di kampung itu. Dari makanan Amerika ke Indonesia. Sukses. Mie gorengnyi sangat disukai. Juga rendangnyi. Pun nasi goreng.
Dari mana dapat mie? Bikin sendiri?
Tidak. Mie goreng itu sebenarnya Indomie. Lalu diberi topping tempe goreng.