Doktor Irwan

Foto : FB DI - Dahlan Iskan--

Memang banyak pihak yang menuliskan gelar itu di depan nama saya. Di banyak forum. Saya sering minta agar jangan sebut gelar itu. Sesekali tidak sempat melakukannya.

Maka saya memahami kalau Pak Irwan Hidayat juga gundah. Saran saya: terima saja. Pak Irwan layak mendapat kehormatan itu. Lebih layak daripada saya.

Kebetulan saya pernah diminta menjadi editor buku mengenai Pak Irwan dan Jamu Sido Muncul. Saya mau.

Saya tertarik pada begitu banyak kiat yang ditemukannya. Itu bukan kiat-kiat biasa. Itu kiat-kiat kelas berat yang untuk menemukannya harus lewat perenungan yang dalam.

Saya pun membaca seluruh isi draf buku itu. Menarik. Lalu mengeditnya. Saya selesaikan itu dalam satu minggu.

Saya sudah lupa itu tahun berapa. Rasanya di masa Covid-19. Lalu saya tunggu-tunggu: kok tidak ada kabar buku tersebut sudah diterbitkan. Lalu saya tanya mengapa.

"Saya sungkan. Masak sekelas saya menerbitkan buku," jawabnya.

Begitulah Irwan Hidayat. Sangat rendah hati. Sederhana. Termasuk dalam caranya berpakaian. Serba sungkan. Serba merendah.

Rupanya ia takut kalau sudah bergelar doktor harus lebih sering pakai dasi dan sepatu mengilap.

Buku, dasi, gelar doktor HC, sebenarnya tidak diperlukan oleh orang seperti Irwan Hidayat. Yang ia perlukan adalah pikiran-pikiran baru agar jamu Jawa tetap relevan di zaman farmasi.

Di situlah karya terbesar Irwan Hidayat: menemukan cara menyejajarkan jamu dengan farmasi. Termasuk dalam teknologi processing-nya.

Itulah sebabnya saya melihat gelar tersebut boleh diterima. Yang lebih saya inginkan: agar buku yang saya edit tersebut segera diterbitkan.

Orang harus tahu bagaimana Irwan Hidayat menemukan karya penting itu. Cara baru itu. Yang tidak mudah ditemukan oleh doktor beneran sekali pun.

Mungkin buku itu bisa diterbitkan bersamaan dengan penerimaan gelar doktor HC tanggal 13 November pagi ini.

Sekaligus bisa jadi pertanggungan jawab ilmiah: tepat atau tidak Irwan Hidayat mendapatkan gelar doktor kehormatan tersebut.

Tag
Share