Pilkada Dan Janji Politik
Foto: IST - Anwar Anas SH--
Sebenarnya, ingkar janji dalam politik bukan hanya fenomena khas Indonesia. Di beberapa negara lain pun hal ini juga terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Susan C. Stokes (2001), seorang guru besar Ilmu Politik Universitas Chicago terhadap 44 kasus pemilihan presiden di 15 Negara Amerika Latin selama kurun waktu 1982-1995 menunjukkan adanya kecenderungan pengingkaran yang cukup tinggi atas janji-janji kampanye. Ada gejala bahwa para politisi memang berusaha mengambil hati para pemilih ketika berkampanye, tetapi segera setelah mereka terpilih mereka menentukan kebijakan semau mereka tanpa mempedulikan preferensi para pemilihnya.
Namun demikian, banyaknya janji-janji palsu dalam kampanye tidak berarti janji politik menjadi tidak penting. Dalam sebuah negara demokrasi, janji politik adalah hal yang niscaya. Politik tanpa janji adalah politik yang buruk (Paul B. Kleden: 2013). Setidaknya ada dua arti penting janji politik. Pertama, mencerminkan visi dan misi seorang calon politisi yang akan memberikan arah dan panduan yang jelas bagi dirinya dalam mencapai sasaran yang hendak diraih bila kelak diberi amanah menduduki jabatan publik.
Kedua, janji politik adalah dasar bagi pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasaan yang demokratis. Tanpa janji, seorang calon pemimpin akan sangat sulit untuk dinilai berhasil tidaknya atas kepemimpinannya kelak. Karena itu dalam sistem politik otoriter seorang diktator tidak perlu berjanji kepada siapapun, sebab dia memang tidak merasa perlu mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada siapa juga.
Dari Janji Politik ke Pelayanan Publik
Pilkada sebagai kontrak sosial tentulah menjamin hak dan kewajiban pemilih di satu pihak dan hak serta kewajiban para pemimpin di pihak lainnya (Arbi Sanit: 2004). Hak pemilih ialah berdaulat menentukan pilihan yang dioperasikan melalui kebebasan menentukan pilihannya atau tidak memilih siapa pun dan merahasiakannya. Imbangan terhadap hak itu adalah kewajiban, berupa menjatuhkan pilihan kepada calon yang tepat secara benar berdasar pertimbangan bahwa hasilnya akan mendatangkan faedah bagi diri, golongan, masyarakat dan negara.
Sebaliknya, para kandidat dalam pilkada berhak mendapatkan suara pemilih sebanyak mungkin, sebagai syarat untuk memperoleh posisi kekuasaan negara yang diingini dan diincarnya. Operasionalisasi hak itu memungkinkannya membujuk pemilih dengan cara yang sah dan benar sesuai dengan prinsip persuasi demokratik. Konsekuensinya, adanya kewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala upayanya dalam mendapatkan suara pemilih. Lebih dari itu, kandidat pilkada yang berhasil menjadi penguasa berkewajiban melakukan upaya secara sah untuk menunaikan janjinya ketika pemilu.
Dengan demikian, secara moral, janji adalah sesuatu yang seharusnya secara sungguh-sungguh dipegang untuk kemudian direalisasikan menjadi kenyataan, bukan sebaliknya hanya menjadi instrumen pencitraan diri untuk meraih simpati rakyat. Faktanya, kewajiban moral tersebut tidak benar-benar membentuk komitmen para wakil terpilih untuk mewujudkan janjinya. Sebab itu, perlu ada strategi guna memastikan janji tersebut ditepati.
Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memformulasikan janji politik ke dalam bentuk pelayanan publik. Artinya, setiap apa yang akan dijanjikan dalam kampanye sebagai strategi mendulang dukungan masyarakat harus dituangkan dalam kenyataan pelayanan publik.
Rakyat tidak butuh janji tapi perlu kerja nyata terlepas dari kandidat tersebut incumben atau bukan.
Kualitas pelayanan publik butuh ketegasan dari bupati sebagai calon pemimpin rakyat, dengan menjaring asn yang profesional yang tahu akan tugas dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat bukan karena kedekatan atau golongan tertentu, regulasi yang tegas terhadap standar oprasional pelayanan, serta keberanian bupati sebagai calon kepala daerah dalam mengambil keputusan
Dalam perspektif hukum Hukum Tata Negara, abai terhadap janji yang berdimensi hukum dapat menjadi alasan untuk meminta pertanggungjawaban.
Melegalkan janji politik sehingga berdimensi hukum menjadi sangat penting untuk menutup salah satu kelemahan pemilu langsung yaitu kecenderungannya melahirkan pemimpin yang populer di mata masyarakat walaupun mungkin tidak memiliki kemampuan sebagai pemimpin. Hal ini sangat mungkin terjadi karena melalui kampanye seorang calon dapat memoles dirinya (self-imaging) agar (seolah-olah) tampak memiliki kualitas dan kapasitas, walaupun sebenarnya yang bersangkutan sama sekali tidak memiliki keunggulan-keunggulan tersebut.
Harapannya, hal ini akan mendorong para politisi untuk membuat janji yang realistis sesuai dengan kemampuannya untuk merealisasikan dan tidak lagi mengobral janji yang sebenarnya tidak akan mampu diwujudkan. Dengan demikian, janji kampanye akan benar-benar menjadi rujukan utama bagi rakyat dalam menentukan pilihannya dalam pemilu dalam rangka menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Hanya dengan cara demikian, pilkada di Indonesia tidak hanya akan menghasilkan demokrasi prosedural tetapi juga demokrasi substantif.
Jangan mudah tergoda dengan janji janji yang berlebihan terlebih program nasional di jadikan janji politik dalam Pemilukada yang sudah semestinya di dapat oleh rakyat.(Anwar Anas SH)