Tumit Zaytun

Foto: dok Dahlan Iskan - Dahlan Iskan--

Di antara 1.800 orang tua santri yang hadir banyak yang pilih jalan kaki. Senam kami tidak seberapa laku: hanya sekitar 400 orang yang ikut goyang-goyang badan. Itu pun sudah termasuk santri dewasa.

Saya agak sulit memberi contoh gerakan senam gaya khusus ini. Hari masih gelap. Mereka sulit melihat Nicky dan saya yang lagi di atas panggung.

Sesaat kemudian fajar mulai menyingsing. Goyang masal pun riuh.

BACA JUGA:Sutradara Agung

Jadwal olahraga itu sangat dini agar tidak mengganggu puncak acara milad: pukul 08.00.

Lokasi puncak acara di dalam Masjid Rahmatan Lil Alamin yang masih baru. Belum sepenuhnya jadi, tapi sudah nyaris selesai.

Kubahnya yang berwarna keemasan sudah tampak menguning dari jauh: kubah itu bukan terbuat dari emas tapi benar-benar disemprot dengan lapisan emas.

Hanya pilihan warnanya tidak murni persis warna emas seperti masjid Kubah Emas di Depok. Di Al Zaytun warna emas itu dibuat sedikit lebih kuning tua.

Masjid ini tinggi sekali. Tujuh lantai. Tingginya 99 meter. Menaranya lebih tinggi lagi: 34 lantai, 201 meter.

Kaca-kaca jendela juga belum terpasang. Angin sepoi masuk ke dalam masjid –membuat udara pagi musim kemarau terasa lebih sejuk. Acara berlangsung di lantai dasar masjid bertingkat tujuh ini.

Sekitar 5.000 orang memenuhi masjid. Mereka duduk di kursi yang disusun sepenuh masjid.

BACA JUGA:Akal-akalan

Saat masuk masjid sepatu harus dilepas. Panitia membagikan kantong sepatu yang didesain secara khusus. Masing-masing membawa kantong berisi sepatu itu ke tempat duduk mereka.

Saya didudukkan di kursi utama menghadap mereka.

Ada tiga kursi di situ. Yang dua lagi untuk Syekh Panji Gumilang dan istri. Mayjen Purn Kivlan Zein juga berada di deret depan.

Tag
Share