Tersiksa Jendela

Foto : dok OTP - Dahlan Iskan--

Tapi yang saya naiki kemarin itu pesawat komersial. Perasaan penumpang harus dipertimbangkan. Apakah penumpang bisa menerima. Misalnya Anda. Ini soal marketing. Untuk apa lebih efisien tapi tidak disukai. 

 

Misalnya membangun rumah di posisi tusuk sate. Efisien tapi sulit laku –kecuali rumah pertama yang mampu saya beli dulu: tusuk sate di Tenggilis Mejoyo. Tidak sial. Bahkan bisa membuat saya rukun 50 tahun dengan wanita yang di foto itu: 20 Agustus nanti

 

Apakah duduk menghadap ke belakang dikeluhkan oleh penumpang?

 

"Tidak ada,'' jawab pramugari di situ. ''Paling ketika awal datang saja ada yang seperti kaget, kok menghadap ke belakang,'' tambahnyi.

 

Saya termasuk yang tidak kaget: sudah diberi tahu sejak memilih kursi waktu check in. Sama-sama menghadap ke belakang pilih yang mana. Sama-sama terpisah dengan wanita itu tapi yang mana.

 

Saya pilih yang dipisahkan meja. Bisa tetap saling lihat –setidaknya saling lirik. Untuk ngobrol memang agak sulit.  Berjarak. Sedikit mengeraskan suara akan mengganggu penumpang lain. Lihat sekali lagi foto itu. Sulit kan? Untuk saling berbisik?

 

Memang, dari segi rasa, menghadap ke belakang tidak ada bedanya. Sama saja. Tidak seperti naik bus: bisa mabuk. Terutama karena saat melihat ke luar jendela pohon-pohon seperti berlarian berlawanan.

 

Di pesawat saya tidak bisa melihat pohon yang lari ke belakang. Tidak ada juga tiang listrik. Apalagi posisi duduk saya di blok tengah. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan