Asgar Underground
Catatan dahlan Iskan--
Sejak itu ia berhenti menulis. Padahal honorarium sebulan menulis, saat itu, lebih besar dari gajinya bekerja di BI.
Tentu Burhanuddin tidak perlu menyesal. Kalau ia ngotot jadi penulis mungkin tidak bisa menjadi Gubernur Bank Indonesia.
Apalagi di masa tuanya sekarang, 84 tahun, menulis di media tidak lagi mendapat honorarium. Bahkan ada media yang justru mengenakan biaya. Penulis seperti harus sewa lapak untuk memajang tulisan.
Sampai sekarang Burhanuddin masih sering bertemu Prabowo. "Pekan lalu masih bertemu beliau," katanya. Ia juga masih sering diundang untuk ikut sidang kabinet terbatas.
"Ikut sidang kabinet sebagai apa?"
"Tidak tahu," jawabnya terkikih pelan.
Dari ngobrol dengan Burhanuddin ini saya baru tahu di mana logika ekonominya: bisa tumbuh 8 persen.
Semua ekonom meragukan target itu. Tidak realistis. Kan tidak mungkin lagi mendapat FDI (dana investasi langsung dari asing) dalam nilai yang diperlukan. Nilainya terlalu besar.
Pun kalau dari utang luar negeri. Kapasitas berutang kita ada batasnya. Gabungan FDI dan utang hanya akan membuat ekonomi tumbuh lima persen. Seperti selama ini.
Lalu yang tiga persen dari mana?
Ternyata ada sumber lainnya. Yang tidak dipikirkan para ekonom. Prabowo sudah memikirkannya. Sejak lama: "dari underground economy," ujar Burhanuddin.
Underground economy itu nilainya besar sekali. Lebih seribu triliun rupiah. Setiap tahun.
Yang dikategorikan underground economy adalah: korupsi, ekspor-impor ilegal, under invoicing, narkoba, dan judi online.
Dari sini saya baru tahu: hentakan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa belakangan ini ternyata punya latar belakang yang sangat strategis. Rupanya Purbaya diperintah presiden: agar sumber dana dari underground economy dicari sungguh-sungguh –sebagai salah satu sumber pertumbuhan delapan persen.
Kalau tidak pertumbuhan delapan persen tidak ketemu logikanya.