ROJALI dan ROHANA, Penurunan Daya Beli atau Disrupsi Pola Konsumsi?

Rillando Maranansha Noor, SE--

KORANOKUTIMURPOS.ID - Gonjang-ganjing angka pertumbuhan ekonomi triwulan II tahun 2025 yang mencapai 5,12 persen dianggap sebagian orang sebagai anomali di tengah kemunculan fenomena ROJALI (Rombongan Jarang Beli) dan ROHANA (Rombongan Hanya Nanya). Fenomena ROJALI dan ROHANA yang diasumsikan sebagai fakta nyata penurunan daya beli oleh sebagian kalangan seakan kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi yang sedikit meningkat.

Fenomena ROJALI dan ROHANA ini terjadi seiring dengan tumbangnya beberapa toko retail di berbagai daerah di Indonesia. Fenomena yang menjadi isu hangat di media sosial dan pemberitaan di sejumlah media ini muncul karena pusat perbelanjaan yang terlihat ramai pengunjung namun minim transaksi. Pengunjung dianggap datang ke pusat perbelanjaan bukan untuk berbelanja dan melakukan transaksi pembelian tetapi hanya sebatas window shopping alias cuci mata atau sekedar mencari hiburan di tengah kegabutan atau bahkan hanya sebatas ngadem menikmati sejuknya udara dari AC di pusat perbelanjaan tersebut.

Fenomena ini sejatinya bukan hal baru, bila ditelisik lebih dalam hal ini telah terjadi sejak pasca pandemi COVID-19. Dampak ekonomi akibat pandemi yang terjadi disinyalir banyak mempengaruhi daya beli masyarakat, daya beli dianggap melemah, dimana transaksi belanja hanya dilakukan untuk komoditas esensial semata, sebagian masyarakat menahan diri untuk bebrbelanja barang-barang yang tak perlu, mereka lebih memprioritaskan kebutuhan pokoknya.

Badan Pusat Statistik (BPS) selaku instansi yang mengeluarkan angka pertumbuhan ekonomi turut angkat suara terkait fenomena ini. Mengutip pandangan Deputi Bidang Statistik Sosial, Ateng Hartono, di sejumlah media, menyatakan bahwa fenomena ROJALI dan ROHANA memang bisa menjadi sinyal adanya tekanan ekonomi pada rumah tangga rentan, namun tidak selalu mencerminkan penurunan daya beli secara keseluruhan. BPS mencatat adanya kecenderungan kelompok masyarakat kelas atas juga menahan konsumsi, menunjukkan adanya pergeseran struktur pengeluaran di berbagai segmen ekonomi.

Tak dipungkiri saat ini telah terjadi disrupsi pola konsumsi masyarakat, pesatnya pertumbuhan e-commerce menjadi penyebab utamanya. Kemudahan yang ditawarkan berbagai platform belanja online menarik minat sebagian besar masyarakat. Harga yang terkadang lebih murah, promo gratis ongkir, produk yang variatif membuat belanja online yang awalnya hanya menjadi ruang konsumsi alternative menjadi ruang konsumsi utama masyarakat.

Pusat perbelanjaan mungkin masih terlihat ramai, namun kadangkala pengunjung hanya ingin melihat secara langsung barang yang hendak dibelinya, melihat kualitas bahan dan kesesuaian ukuran dengan mencobanya, namun pada akhirnya mereka menjatuhkan pilihan untuk membeli secara online melalui platform e-commerce yang ada. Pusat perbelanjaan yang ramai tetap menjadi kenyataan yang riil, namun transaksi yang terjadi nihil.

Fenomena ROJALI dan ROHANA benar adanya, kondisi ini terpampang nyata di berbagai pusat perbelanjaan. Namun, fenomena ini jangan hanya dilihat sebagai cerminan kondisi perekonomian yang di mata sebagian orang menganggapnya sebagai penurunan daya beli, tetapi harus juga dilihat bahwa telah terjadi disrupsi terhadap pola konsumsi masyarakat yang kini cenderung berbebelanja di ruang digital secara online.

Pengunjung mal atau pusat perbelanjaan semakin selektif dalam berbelanja, sehingga mengharuskan pemilik pusat perbelanjaan dan tenant-tenant yang ada di dalamnya memutar otak untuk mencari strategi agar tidak tersapu tsunami gulung tikar yang telah banyak memakan korban beberapa mal dan pusat perbelanjaan. Para pengusaha retail offline ini harus mampu beradaptasi dengan kondisi saat ini dimana toko-toko yang menjamur di platform belanja digital telah menjadi toko “utama” bagi para konsumen. Para pengusaha ini harus mampu menghadirkan pengalaman belanja yang tak hanya menarik tetapi juga berbeda, agar mampu bertahan di tengah fenomena ROJALI dan ROHANA yang terjadi dimana-mana.

Barang yang itu-itu saja, kantong belanja berbayar, AC yang mulai tak sejuk, gedung pusat perbelanjaan yang terlihat usang semakin memperparah kondisi yang ada. Namun pusat perbelanjaan offline masih memiliki kelebihan seperti kualitas bahan yang bisa dilihat langsung dan ukuran yang pas karena bisa dicoba. Suka tidak suka, disrupsi pola belanja itu nyata adanya, dimana toko offline tergerus karena kehadiran toko online. Jadi bagaimana, apakah fenomena ROJALI dan ROHANA memang pertanda penurunan daya beli semata, atau karena faktor disrupsi pola konsumsi yang turut mempengaruhinya. Selagi memikirkan jawabannya, yok kita checkout dulu keranjang belanjaan kita, entah itu di toko oranye atau toko hijau.

Penulis:

Rillando Maranansha Noor, SE

Statistisi Ahli Muda BPS Kabupaten OKU Timur.

 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan