Nabi Baru

Catatan dahlan Iskan--

Saat itulah Muhammad Jabir minta tongkat khotib diberikan kepadanya. Ia berdiri dengan tongkat itu. Ia hentakkan tongkat itu ke lantai. Tiga kali. Suara hentakan itu keras. Mengalahkan suara hujan. Perhatian Jamaah terpusat ke suara itu. Juga ke orang yang menggedokkannya. Hening sejenak. Jabir lantas menyampaikan satu ayat dalam Quran: "Telah datang padamu rasul ....". Dan Anda sudah tahu terusannya.

Sampai pidato selesai tidak ada jamaah yang bersuara. Diam. Hujan pun reda. Jemaah meninggalkan masjid. Tidak ada kejadian apa-apa.

"Mengapa tidak ada anggota jamaah yang merespons negatif?"

"Jamaah melihat Jabir adalah putra imam besar yang sangat dihormati. Umat melihat siapa ayahnya," ujar Harmain, kakak Jabir.

Harmain adalah salah satu yang sangat awal percaya tentang kenabian adiknya itu. Sampai sekarang. Pun sembilan bersaudaranya.

Sang ayah sangat karismatis. Ia seorang mursyid (pemimpin spiritual) tarekat Syatariyah. Banyak sekali pengikutnya.

Reaksi negatif baru datang beberapa hari setelah deklarasi di hari Jumat yang hujan itu. Bisik-bisik mulai menyebar. Meluas. Jadi kasak-kusuk. Memanas. Sekumpulan orang pun menyerbu rumah Jabir. Setiap tingkatan MUI memanggil mereka. Hampir saja rumah Jabir dibakar.

Dari masjid warna serba kuning mencolok ini kami kembali ke jalan raya. Kami meneruskan bermobil ke arah Belawan. Hanya sekitar 200 meter dari masjid ada pertigaan. Ada jalan kecil masuk ke kanan.

Kami memasuki jalan kecil itu. Tidak sampai 100 meter ada parit besar yang kotor. Sebelum parit itulah rumah nabi Muhammad. Yakni bangunan rumah biasa, dua lantai, ukuran sekitar 8 x 16 meter. Halamannya kecil, tidak terawat, tanpa pagar.

Kami tidak masuk ke rumah itu. Kami menyusuri halaman becek di sebelah rumah, menuju bangunan khusus di belakang rumah. Yakni bangunan kayu yang sangat sederhana.  Berkolong. Beratap daun rumbia. Mereka menyebut bangunan gubuk itu sebagai pendapa.

Lebar pendapa itu sekitar delapan meter. Panjangnya 20 meter. Ada tiang-tiang kayu kecil menyangga bagian tengahnya. Lantainya dilapisi sajadah tipis berjajar-jajar.

Di lantai itulah kami ngobrol panjang: lebih dua jam. Umatnya berdatangan ikut duduk mendengarkan. Akhirnya sekitar 10 orang berkumpul. Salah satunya sudah tidak jadi umatnya lagi –tapi masih berhubungan baik.

walnya kami duduk bersila. Tapi karena pembicaraan amat panjang, sekali sekali kaki kami berselonjor. Sedang nabi Muhammad duduk bersimpuh dengan ujung telapak tegak.

Cara duduk seperti itu ada maksudnya: untuk mengenang kejadian ketika ia dan pengikutnya ditahan di penjara di Makkah. Tangan dan kakinya diborgol. Waktu salat pun borgol tidak dibuka.

Selama di penjara ia salat tanpa bisa melakukan posisi duduk tahiat dengan semestinya. Tahiat adalah satu gerakan bersimpuh dalam salat. Borgol di kakinya menghalanginya untuk bertahiat dengan benar.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan