Rujak Solo

Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa berjabat tangan dengan Misbakhun usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR.-Antara Foto---

Mungkin saja tidak semuanya benar. Tapi begitu banyak kalimat yang diucapkan Menkeu baru Purbaya Yudhi Sadewa di DPR Rabu kemarin yang bisa dijadikan headline judul oleh wartawan. Sekaligus harus dijadikan topik diskusi di kelas-kelas S-1, S-2, S-3 fakultas ekonomi. Semua kalimat itu juga bisa dijadikan bahan rujak: Rujak Purbaya.

Purbaya menyadari itu sejak di awal bicara. "Saya minta maaf kalau akan ada yang tersinggung. Ini demi perbaikan ekonomi," katanya.

Ketua Komisi XI DPR M. Misbakhun memang minta Purbaya bicara sebagai Purbaya. "Wah, saya ini sudah ingin berhenti jadi cowboy disuruh jadi cowboy lagi," celetuk Purbaya. Itu karakternya: bicara apa adanya.

Anda sudah tahu: Misbakhun juga jago ekonomi-keuangan-perpajakan. Sejak ia masih di PKS. Sampai pun sudah di Golkar. Anda juga lebih tahu: Misbakhun sering berseberangan dengan Menkeu Sri Mulyani.

Saya pun menyimak Purbaya bicara dengan waswas: seberapa banyak pihak yang akan tersinggung dari kalimat yang diucapkannya. Setiap kalimat baru diucapkan saya khawatir: siapa lagi yang akan terkena peluru.

Inti pendapatnya: ekonomi kita lemah karena dua mesin penggerak ekonomi kita dicekik mati. Mesin moneter dan mesin fiskal.

Mesin moneter ada di Bank Indonesia. Mesin fiskal ada di Kementerian Keuangan.

"Munculnya tagar 'Indonesia Gelap' dari kesalahan kita itu," katanya.

Kesalahan seperti itu, katanya, muncul setiap tujuh tahun. Sejak krisis moneter 1998-2000. "Padahal harusnya kita tidak boleh lupa," katanya.

Waktu itu terjadi kesalahan yang luar biasa. Dari sisi moneter suku bunga dibuat sangat tinggi, sampai 60 persen. Harusnya peredaran uang menjadi sangat seret. Tapi peredaran uang justru tumbuh 100 persen. Ternyata kita cetak uang. Lalu apa gunanya suku bunga dinaikkan sampai 60 persen. Yang bikin swasta mati. Sedang naiknya peredaran uang bikin rupiah jatuh. Dua mesin ekonomi mati bersamaan.

"Bukan karena bodoh. Kita memang belum punya pengalaman krisis," ujar Purbaya --tumben, kali ini ada kalimat bijaksana. Saat krismon itu Purbaya baru menyelesaikan gelar doktor ekonomi dari Purdue University, Indiana, Amerika.

Saat krisis uang ketat 2007, Purbaya ingatkan itu ke tim SBY untuk menghindari terjadi krisis berulang. Ia bicara dengan Bright --grup think-thank-nya Presiden SBY. Krisis pun terhindarkan. Sampai muncul istilah ”SBYnomic” waktu itu.

Saran yang sama disampaikan lagi oleh Purbaya pada Presiden Jokowi tujuh tahun kemudian: ketika krisis uang ketat tahun 2015. "Pak Jokowi ambil langkah cepat. Ekonomi jalan lagi," katanya.

Tujuh tahun berikutnya kumat lagi. Pertumbuhan uang beredar ketat lagi. Ingatan yang sama disampaikan Purbaya ke Jokowi. Di saat Covid. Ekonomi selamat.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan