Rujak Purbaya

Purbaya Yudhi Sadewa saat masih menjadi dewan kehormatan LPS bertemu Dahlan Iskan di Energi Disway Podcast.----
Lalu lihatlah ketika Purbaya celingukan ke sekitarnya, mencari di mana dirjen pajak dan dirjen bea cukai. Kelihatannya agar keduanya ikut menghadapi wartawan. Ia tidak menemukan di mana keduanya. Lantas coba perhatikan celetukan apa yang keluar lirih dari mulut Purbaya: "keduanya tentara kan..."
Demikian juga saat ia menjawab soal berapa persen ekonomi harus tumbuh. Seoptimistis Purbaya pun ia tidak mau mengucapkan ''akan tumbuh delapan persen''.
"Kalau saya bilang tumbuh delapan persen pasti bohong kan?" katanya.
Tentu ada nada seloroh di situ. Tapi siapa menteri yang berani berseloroh seperti Purbaya di bawah Presiden Prabowo sekarang ini. Padahal soal delapan persen itu janji presiden yang amat penting. "Menuju ke sana," ujar Purbaya.
Jadi, akan tumbuh berapa persen? Ia pun mengucapkan kata enam atau tujuh persen. Angka itu pun bagi orang seperti Anda –dan saya– sudah terasa luar biasa hebat. Sekalian titip doa semoga tercapai.
Anda tahu: angka itu tidak mungkin tercapai lewat cara-cara yang standar seperti yang dilakukan selama ini. Harus dengan cara yang berbeda.
"Cara yang berbeda" itulah kelihatannya yang diinginkan Presiden Prabowo. Dengan cara lama kita akan jalan di tempat. Sudah 10 tahun terbukti: pendapatan per kapita kita tidak naik sedikit pun. Satu dasawarsa. Berjalan di tempat. Bahkan mundur ke USD 4.800. Kita kehilangan waktu 10 tahun. Waktu begitu mahal. Kita buang percuma.
Tentu belum ada jaminan "cara baru" itu akan lebih berhasil. Bisa saja justru berbahaya. Bukan saja mundur, malah bisa masuk jurang.
Di masa seperti inilah diperlukan pimpinan yang matang, berpengalaman, intelektual, administrator, teguh, pernah mengalami tempaan dari bawah yang panjang. Ditambah keinginan yang kuat yang didasari ideologi kebangsaan –bukan hanya didasari pikiran pragmatis-trasaksional.
Purbaya, yang saya tahu, bukan orang yang ingin jadi menteri. Bukan pemain politik. Ia polos. Termasuk tidak risi ketika mengatakan dekat dengan SBY, Hatta Rajasa, Luhut Pandjaitan, Jokowi, dan kini Prabowo.
Politisi terbiasa menyembunyikan sebagian kebenaran untuk keselamatan nasib jabatannya. Purbaya tidak. Justru Purbaya yang seperti itu –dengan celetukan apa adanya itu– yang membuat saya waswas: jangan-jangan lingkungannya akan banyak menjegalnya.
Lihatlah sikapnya soal keharusan pajak diperluas dan ditingkatkan: "hanya akan berhasil kalau ekonomi tumbuh". Itu bisa pertanda jalan baru juga.
"Jalan baru" ekonomi kita kini di tangan "orang yang baru". Purbaya bukan ekonom sejak lahir. Ia sarjana elektro. Arus lemah. Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Ilmu ekonominya ia peroleh dari Amerika –Amerika yang lain: Purdue University. Di Indiana. Bukan dari Berkeley atau Harvard.
Di Purdue-lah Purbaya meraih gelar doktor ekonomi. Tanpa lewat program master. "Lulusan ITB kelihatannya dianggap hebat sehingga bisa langsung ikut program doktor," katanya saat podcast dengan saya.