Obat Gelembuk

Ilustrasi industri obat India----
India nekat memproduksi obat jenis tersebut tanpa merasa melanggar hak paten. Dengan cara: proses memproduksinya dibuat berbeda. Ikut prinsip hakim Rajagopala.
Maka harga obat jenis itu pun terjun bebas. Obat yang asli harganya Rp 50.000 sehari, menjadi hanya Rp 3.000. Sekitar itu. Padahal pasien leukemia harus meminumnya setiap hari. Selama satu tahun. Atau lebih.
Isi obatnya sama. Khasiatnya sama. Harganya begitu jauh berbeda.
Demikian juga obat HIV yang aslinya seharga USD 30 menjadi hanya USD 1 –untuk keperluan sehari. Beda merek. Sama ampuhnya.
Setelah ada WTO, India berubah ikut aturan WTO. Tapi industri farmasinya sudah telanjur sangat maju. Harga murah. Menguasai pasar. Sudah pula mendapat kepercayaan dunia.
Kualitasnya memang dijaga. Standar mutu WHO dipenuhi. Banyak yang mendapat pengakuan FDA –BPOM-nya Amerika.
Saya teringat saat jadi sesuatu dulu –seperti yang ditulis perusuh Disway kemarin. Sebagai penderita hepatitis B akut –sampai berlanjut ke sirosis dan kanker hati– saya tahu: obatnya amat mahal. Produk Eropa. Tidak mungkin terjangkau. Penderita hepatitis B di Indonesia begitu besar. Banyak di pedesaan pula.
Maka Indonesia harus punya obat yang murah. Kimia Farma pun kontak India. Akhirnya Indonesia punya obat sendiri. Mereknya: Heplav. Harganya tidak sampai sepertiga Barraclude yang saya konsumsi setiap hari.
Sesekali, saat saya ke apotek, masih bertanya: apakah masih ada Heplav. Masih ada. Tapi saya tidak bertanya apakah harganya masih tidak sampai sepertiga seperti dulu.
Setelah ada WTO, Novartis merasa punya hak menggugat India. Di bidang paten. Tapi Novartis kalah. Meski sudah masuk WTO India tetap punya aturan khusus: bila obat serupa terlalu mahal dan tidak terjangkau rakyat. Masih ada satu ''cadangan'' aturan khusus untuk bisa melanggar paten: kalau terjadi wabah. Maka di masa Covid-19 lalu India menjadi produsen vaksin yang amat besar.
Tidak mudah menggugat India. Tidak mudah pula asing ''menyiasati'' India. Kita harus tahu orang India itu bilang ''iya'' pun kepalanya menggeleng.
Misalkan ada perusahaan asing yang mendaftarkan paten obat baru. Obat itu harus benar-benar ''baru'' di segala hal. India bisa menolak dengan alasan obat itu masih mirip dengan obat lain. Kalau pun beda, tidak banyak.
India punya penilaian raksasa farmasi dunia sering beralasan mendaftarkan merek baru, padahal itu hanya akal-akalan agar masa berlaku patennya lebih panjang.
Orang Tegal jangan dilawan dalam perdagangan minyak wangi. Orang Tasikmalaya jangan dilawan dalam mindring. Orang Solo jangan dilawan dalam hal gelembuk. Orang India jangan dilawan dalam semua hal. (Dahlan Iskan)