Lipstick Merona

Pasukan militer perempuan Tiongkok yang ditampilkan dalam parade militer di Beijing.----

Saya mendarat di Beijing tadi malam. Telat. Tidak bisa lagi melihat parade militer terbesar di jagad raya. Apalagi ikut KTT di Tianjin.

Vladimir Putin sudah pulang ke Moskow. Narendra Modi sudah kembali ke India. Kim Jong-un sudah menikmati mie dingin di Pyongyang. Dan, Presiden Prabowo Subianto sudah kembali memikirkan langkah untuk memenuhi jeritan rakyat yang jadi sekam terbakarnya banyak gedung DPRD dan kantor polisi pekan lalu.

Gema KTT dan parade itu memang luar biasa besar. Sampai mendengung keras di tembok Gedung Putih, Amerika Serikat. Belum pernah ada perlawanan diplomatik baru yang menggetarkan Amerika sekuat ini.

"Amerika salah langkah. Salah besar. Semua itu gara-gara Donald Trump. India menjadi rukun dengan Tiongkok. Putin kian mesra dengan Xi Jinping".

Lima kalimat pendek-pendek itu saya yang merumuskan. Tapi rumusan itu datang dari rangkuman berbagai pernyataan tokoh Amerika Serikat sendiri. Baik dari teman Trump di Partai Republik apalagi dari tokoh Partai Demokrat di seberangnya. Presiden Obama termasuk yang sangat keras menyalahkan Trump.

"Belum pernah Amerika dikeroyok ramai-ramai seseru sekarang." Itu kalimat rangkuman keenam.

Tapi Presiden Donald tetap Trump. Ia menegaskan senjata-senjata yang diparadekan itu tidak akan dipakai menyerang Amerika. "Saya punya hubungan sangat baik dengan Presiden Xi," katanya.

Trump lagi sendirian di Washington. Padahal alangkah lengkapnya kalau Trump ikut kumpul di Tianjin dan Beijing. "Semua tokoh diktator bisa menjadi satu di sana," ejek tokoh Amerika yang menganggap Trump juga punya kecenderungan diktator.

Berkumpulnya tokoh-tokoh "dunia sebelah" di Tianjin dan Beijing sebenarnya memang membuat Trump iri: mengapa ia tidak ada di antara mereka. Berfoto bersama. Lalu ikut tertawa-tawa bersama. Jadi judul-judul headline media sejagad raya. Bukan seperti saat itu. Ia sendirian di Amerika --justru sedang jadi bahan tawa-tawa mereka yang di Tianjin.

Selama KTT dan parade militer itu, hanya satu tinju yang bisa diayunkan Trump dari Washington DC. "Harusnya mereka yang merayakan kemenangan perang 80 tahun lalu tidak lupa menyebut jasa Amerika," katanya.

Kemenangan itu, katanya, tidak akan diperoleh kalau Amerika tidak menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki. Amerikalah yang jasanya paling besar. Tapi, di setiap perayaan kemenangan peran jasa Amerika tidak disebut. Di mana pun. Termasuk di Indonesia --saat merayakan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia di setiap 17 Agustus.

Amerika sendiri menjadi negara yang justru tidak pernah merayakan hari kemenangan perang dunia ke-2. Mungkin Amerika justru sangat malu: negara itulah yang baru bisa menang hanya dengan cara menggunakan senjata kimia pemusnah masal. Bukan menang secara James Bond. Atau cara Rambo. Apalagi cara Jacky Chan.

Tentu Donald ”Rambo” Trump sedang cari cara untuk memberikan perlawanan baru. Presiden-presiden Amerika sebelumnya selalu punya cara membuat India bertengkar dengan Tiongkok. Dan Moskow menjauhi Beijing. Baru Trump satu ini yang justru membuat tiga negara itu bersatu: lewat perang dagangnya.

Berarti sebenarnya Trump punya jiwa mulia: mampu membuat rukun tiga tetangga. Bukankah merukunkan tetangga yang sedang bertengkar itu mulia? Dan baru Trump yang punya hati semulia itu?

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan