Joget Malinau

----
Keputusan Krayan dimasukkan ke Nunukan adalah pertimbangan demografis. Krayan hampir 100 persen Dayak. Sub sukunya sama dengan Dayak di Malinau. Bahkan sama dengan Dayak di perbatasan Serawak dan Sabah. Tapi pertimbangan itu telah mengorbankan kemudahan pembangunan wilayah pedalaman.
"Saya ingin meniru Malinau," ujar Rasyid Bancin, wali kota Subulussalam.
Semula saya heran melihat kedatangan Rasyid ke acara ini. Apa hubungannya. Tidak ada calon mahasiswa dari Subulussalam.
Oh, rupanya ia ingin mendalami bagaimana cara mengirim calon mahasiswa dari Subulussalam ke luar negeri dengan cara yang hemat.
Rasyid baru terpilih sebagai wali kota Subulussalam. Ia lulusan Al Azhar, Cairo. Jurusannya sastra Arab. Ia didorong masyarakat di sana untuk maju jadi calon wali kota. Harapan terpilihnya kecil. Lawannya incumbent nan punya banyak dana.
"Beliau pasti lebih kaget, kok kalah dari saya. Saya saja yang menang kaget," ujarnya.
Saya menemani dua kepala daerah itu ngobrol sebelum acara dimulai. Yang Malinau sangat Dayak dan Kristen. Yang Subulussalam sangat Aceh dan Islam. Wempi belum pernah tahu Subulussalam. Rasyid belum pernah tahu Malinau. Setelah saling kenal, saya tinggalkan mereka berdua agar hubungan lebih mendalam.
Di awal acara yang Dayak dan Kristen sudah tampil di panggung. Maka saya undang calon mahasiswa yang datang dari pondok pesantren. Semua saja. Dari pesantren mana pun.
Ternyata ada satu calon mahasiswa dari pondok tahfizh Quran. Yakni Ichsan Nur Kahfi dari Pesantren Tahfizh Daarul Qur'an, Tangerang .
"Jadi, Anda hafal Quran?" tanya saya.
"Alhamdulillah," jawabnya.
"Semuanya? Sebanyak 30 juz?"
"Alhamdulillah".
Sudah banyak lulusan pondok pesantren kuliah di Tiongkok, tapi rasanya baru satu ini yang hafal Quran.
Seorang calon mahasiswa saya tanya: apakah ibunyi hadir di acara ini. Ada. Saya minta sang ibu ke atas panggung. Ternyata dari Kuningan, Jawa Barat.