Telat Merdeka

----
"Sumurnya di sini," ujar Damanhuri, penjaga makam Belanda itu. Ia pun mengajak saya masuk ke dalam tugu peringatan. Bagian bawah tugu itu segi empat. Terbentuklah ruangan sekitar 3 x 3 meter. "Di bawah lantai ini sumurnya," ujar Damanhuri, lelaki Betawi asli.
Di samping Achmad Mochtar masih ada delapan temannya yang ikut dipancung. Ternyata Jepang tidak membebaskan semua tawanan yang dijanjikannya.
Banyak juga orang Belanda yang dipancung di situ. Kelak, sekian tahun kemudian, setelah sumur berhasil digali, tulang belulang mereka dipindahkan ke lahan seluas 3 hektare di sekitar sumur itu. Itulah komplek Ereveld Ancol sekarang. Anda sudah tahu arti Ereveld --makam kehormatan.
Di atas makam 3 hektare itu nisan-nisan ditancapkan. Warna putih. Mirip makam di Belanda.
Salah satu nisan itu tertulis nama Achmad Mochtar. Juga nama delapan orang dari Lembaga Eijkman. Anda baca sendirilah siapa yang berjasa menemukan di mana lokasi jenasah Achmad Mochtar dibuang Jepang. Banyak literatur tentang ini di Google.
Saya keliling makam itu. Tertata rapi. Terawat baik. Indah. Hijau. Asri. Ada tanggul laut untuk membuat makam tersebut tidak tenggelam. Air laut di luar tanggul memang dua meter lebih tinggi dari makam.
Saat saya duduk di gasebo di atas tanggul itu terlihat betapa rendah makam itu dibandingkan air lautnya.
Sebuah yayasan Belanda membangun, merawat dan mengelola makam ini. Yang bekerja di situ 12 orang. Yayasan tersebut juga membawahkan enam makam serupa di Bandung, Semarang, dan Kembang Kuning, Surabaya.
Sekitar 2.000 nisan putih ada di situ. Ada yang pakai nama banyak juga yang tidak bernama. Mereka adalah pahlawan (Belanda) tidak dikenal. Bacalah tulisan di nisan-nisan itu: Geexecuteerd. Anda sudah tahu artinya.
Achmad Mochtar lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat. Ayahnya seorang guru. Guru yang sangat hebat. Saking hebatnya sampai masuk koran-koran di zaman itu. Koran berbahasa Belanda.
Sang ayah tugasnya berpindah-pindah. Sampai ke Sumsel. Terakhir di Muara Enim. Lalu menyekolahkan Achmad Mochtar ke Jakarta.
Lulus setingkat SMA, Achmad Mochtar masuk sekolah kedokteran Belanda di Jakarta: Stovia.
Zaman itu pendidikan dokter harus sembilan tahun. Achmad Mochtar lulus tepat waktu: 1916. Begitu jadi dokter, Achmad Mochtar ditugaskan ke pedalaman Sumatera Utara. Di Panyabungan. Di dekat Padang Sidempuan.
Di Panyabungan itulah Achmad Mochtar bertemu peneliti Belanda: W.A.P Schüffner. Si Belanda sedang meneliti penyakit malaria. Ia melihat kemampuan dan kepintaran Achmad Mochtar. Ia pun membuat rekomendasi ke pemerintah Belanda: agar Achmad Mochtar bisa meraih gelar doktor di Belanda. Achmad Mochtar sendiri lantas menganggap W.A.P Schüffner sebagai mentornya.
Di Amsterdam, dr Achmad Mochtar berhasil mencapai gelar doktor. Tahun 1927 --tepat di saat itu di Surabaya lahir Persebaya --Soerabhaiasche Indische Voetbal Bond (SIVB).